34. We're Ready

1.3K 198 87
                                    

Perkataan Vee kala itu memang cukup menyakitkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perkataan Vee kala itu memang cukup menyakitkan. Berhasil membuat kerongkonganku tercekik. Aku tidak dapat mengatakan apapun untuk menjawab seperti biasanya.

Tapi, bagaimana kalau Yuki tahu suami tengilnya itu selalu menganggu waktuku bersama Jeon ketika berada di rumah saat itu?

Ah, sudahlah.

Dan seharusnya, aku dan Jeon sudah kembali ke rumah sakit untuk bertemu dengan Dokter Lee. Ini sudah lewat satu bulan lebih dari konsultasi. Tetapi, kami belum sempat ke rumah sakit lagi. Sepertinya, kami akan ke sana hari ini setelah rapat.

Akhir-akhir ini, aku selalu ke kantor Jeon. Ini bukan permintaan kelinci tengik itu ataupun keinginanku. Karena, papa sendiri yang memintaku untuk membantu Jeon di kantor. Salah satu karyawan yang sudah cukup lama mengabdi di perusahaan papa mengundurkan diri. Jadi, aku ditugaskan untuk membantu memback-up beberapa laporan.

Yah, setidaknya ada kegiatan. Semenjak aku dan Yera menemukan pegawai baru untuk di toko bunga, aku jadi tidak sesering dulu mengunjungi toko. Hanya sesekali saja di akhir pekan.

Pagi ini, aku selesai menemani Jeon melakukan rapat pertama di kantor pukul 10 tadi. Sekarang kami berada di ruangannya, kelinci tengik itu sedang menandatangani beberapa berkas yang baru saja di antar oleh sekretarisnya.

Jeon yang sangat serius itu terlihat benar-benar berbeda dari tingkahnya kalau berada di rumah. Tidak ada rengekan. Tapi, aku juga baru sadar, kalau akhir-akhir ini Jeon memang tidak manja. Dia bahkan yang selalu bangun lebih dulu di pagi hari dan membangunkanku. Tapi, Jeon juga-

Aku tersentak dan sadar dari lamunan disaat Jeon membanting genggaman pulpennya ke atas meja. Aku yang terduduk di hadapannya menatap bingung wajah datar kelinci tengik itu.

Aku mendecak tipis, “Jeon, astaga! Ada apa, sih? Banting-banting begitu.”

“Apa yang kau pikirkan, hmm?”

Hah, faktanya Jeon masih sama pekanya seperti itu. Sifatnya yang satu itu tidak benar-benar hilang. Hanya saja, wajahnya masih datar saat menanyakan hal itu. Tidak seperti biasanya.

“Tidak ada, Jeon,” balasku sembari menghela napas. Tubuhku sedikit menyamping untuk menghindari tatapannya yang semakin lama menatapku kian lekat.

Aku tidak langsung mendapat balasannya, tapi Jeon terdengar menghela napas. Membuatku sesekali melirik ke arahnya. Hanya sekilas. Setelah itu, aku kembali memainkan kuku-kuku jariku.

“Awas, ya! Kalau kau memikirkan Mr. Han yang sejak kemarin flirty ke arahmu terus,” ucap Jeon tiba-tiba. Kali ini sukses membuatku kembali menghadapi ke arahnya.

Apa-apaan si tengik ini? Aku bahkan sudah lupa dengan kejadian kemarin itu. Dan tidak menganggap serius klien perusahaan yang hanya ingin mengetahui namaku.

Aku mendengkus, memejam sejenak karena akhir-akhir ini, Jeon selalu membahas itu. “Jeon, Mr.Han juga tahu kalau aku ini istrimu,” tuturku mencoba mengingatkan. Nyatanya begitu, aku tidak semata-mata memperkenalkan nama saja kala itu, aku juga memperkenalkan diri sebagai istri dari si kelinci itu.

𝐁𝐨𝐭𝐡 𝐨𝐟 𝐔𝐬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang