ii. from jakarta to surface

791 143 69
                                    

Menjelang pagi, Laudy tak kunjung memejamkan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjelang pagi, Laudy tak kunjung memejamkan mata.

Dia kalut, sebab Hasan tak kunjung pulang. Sebetulnya itu bukanlah suatu yang patut dikhawatirkan mengingat Hasan sendiri sudah dewasa, tetapi Laudy sadar ini pertama kali abangnya itu tak memberi kabar bahkan sebuah pesan pun, ditambah lagi dengan perkataan lelaki aneh yang mengunjungi rumahnya tadi. Laudy sama sekali tak berniat untuk percaya namun entah kenapa ada sekeping jiwa di dalam dirinya yang meyakini bahwa itu benar. Bukan karena ia lelah menghubungi Hasan, melainkan hanya karena dia ingin mempercayainya, sesederhana itu.

Abian tampak menjanjikan, lelaki itu memiliki garis wajah familiar seperti seseorang yang pernah Laudy temui di masa lalu, sepasang mata nya penuh sirat akan kebenaran.

Entahlah, dangkal rasanya Laudy mendeskripsikan Abian sedemikian rupa hanya karena sebuah pertemuan singkat. Sudah tidak jelas asal-usulnya, mendadak berkisah bahwa dia adalah seorang penyihir beserta hal-hal lain yang tidak masuk akal pula. Dia hanya beruntung sebab diberi aset wajah yang terlahir nyaris sempurna. Laudy jadi terbayang bagaimana rasa kecewa orangtuanya yang susah hati membesarkan, besar-besar malah jadi penipu.

Laudy berhenti mematut didepan kaca rias yang berada di genggamannya ketika seorang perempuan berjalan mendekat lalu mengambil tempat di kursi James yang kosong, tepat disebelahnya. Hari ini James tidak datang, ah ralat, sudah terhitung dua hari lelaki itu tak kunjung menampakkan diri, entah masalah keluarga apa lagi yang harus dia hadapi.

"Laudy, bukan?" Tanya perempuan itu.

"Ehm-em, kenapa ya?"

"Ada yang nyariin tuh."

"Loh siapa? Jangan bilang fans? Wah gue nggak siap punya penggemar."

Tak ada jawaban, si perempuan misterius hanya menggerakkan sudut matanya seolah mengarahkan Laudy untuk keluar kelas. Namun belum sempat Laudy beranjak perempuan itu sudah menariknya lalu mendekap erat, menghapus tubuh mereka dari sana, menembus dimensi tak terlihat dan menyisakan kepulan asap halus sebagai jejak. Laudy tidak merasakan apa-apa selain angin yang berembus pelan diatas kulitnya, tau-tau dia sudah berpijak ditempat yang berbeda. Tempat itu sepi akan manusia, sekelilingnya dipenuhi pohon rimbun ala musim semi. Sebentar... dia belum mati kan?

"Thanks, Olivia. Sorry mengganggu senin lo, gue bakal berusaha biar lo nggak disetrap menyiram kebun belakang."

"Anytime, Yan. Tenang aja, terakhir gue memakai mantra air satu kebun cabe kebanjiran. Pak Logan nggak bakal biarin gue buat berkutat disana lagi." Olivia bercanda. "Kalau gitu gue cabut. Semangat."

Perempuan dengan rambut di cat kuning cerah yang diyakini bernama Olivia itu menghilang dengan cepat, sama seperti tadi, ada jejak asap tertinggal yang kemudian Abian tiup dengan begitu santai.

"LO LAGI?!"

"Maaf. Saya nggak kepikiran cara lain. Udah dua hari kamu mengabaikan saya secara sepihak." Itu Abian, masih bersama tuksedo birunya dan masih model yang sama. Entah kenapa justru tidak membuatnya lusuh, jas itu membungkus tubuhnya dengan sempurna, membuat Abian terlihat seperti anak baik-baik.

DUENDE I: THE KING OF DARKNESS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang