x. examination

137 20 13
                                    

Terakhir kali Laudy terjaga, seingatnya dia sedang berada di kamar dan menggenggam buku bersampul biru, kemudian ketika Dena memanggilnya untuk segera mencuci muka dan melakukan ritual sebelum tidur, di saat itulah kantuk merenggut kesadaran Laudy...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terakhir kali Laudy terjaga, seingatnya dia sedang berada di kamar dan menggenggam buku bersampul biru, kemudian ketika Dena memanggilnya untuk segera mencuci muka dan melakukan ritual sebelum tidur, di saat itulah kantuk merenggut kesadaran Laudy dan pada akhirnya, dia tertidur.

Namun kini, Laudy justru mendapati dirinya sedang berada di sebuah jalan setapak yang dipenuhi bunga-bunga liar, sementara sekelilingnya tampak kosong putih melompong. Ruang itu sangat luas, seolah tanpa batas, cukup menjelaskan jika Laudy berteriak sekalipun tidak akan ada entitas yang menyahutnya. Mata Laudy menelisik gelisah ke sana kemari, setiap langkahnya tidak membawa perubahan apapun selain bunyi gema tapak kakinya sendiri.

Laudy mulai merasa putus asa saat tiba-tiba sebuah cahaya kecil muncul di kejauhan. Cahaya itu berkilauan, seperti bintang di tengah malam yang gelap gulita. Bersama harapan yang tipis, Laudy melangkah menuju sumber cahaya itu. Semakin dekat, cahayanya semakin terang dan menyilaukan mata hingga mendadak, ruang kosong itu mulai runtuh, digantikan oleh pilar-pilar tinggi yang menjulang dari tanah. Permukaan di bawah kaki Laudy berubah menjadi lantai marmer yang berkilau. Dinding-dinding besar muncul dari kegelapan, membentuk sebuah koridor yang megah.

Laudy melotot tak menyangka apa yang sedang dilihatnya.

Di ujung dinding tersebut, ada sebuah pintu besar dari emas yang terbuka perlahan. Ketika Laudy bergerak melangkah masuk ke dalamnya, di hadapannya sudah berdiri sebuah istana megah yang di salah satu jendela kacanya membiaskan bayangan seorang pria bermahkota yang tengah melayangkan sebilah pedang di depan seorang wanita yang sedang menggendong bayi. Bayi itu tampak tenang, berbanding terbalik dengan dua orang dewasa di depannya yang tampak bercekcok panjang sampai menghunus pedang.

"Dia bukan pewarisku, buang dia dari dunia ini."

"D-dia akan kunikahkan dengan penyihir bangsawan, aku yakin—"

"Sekali tidak, tetap tidak."

Laudy tidak diberikan kesempatan untuk melihat kelanjutan dari adegan itu karena tiba-tiba saja, dua sosok familiar mencuat dari kegelapan—Haidar Nethanial, dia bukan sosok yang Laudy senangi di dunia nyata, bahkan di mimpi pun, Ethan tidak pernah berhenti menancap wajah Laudy dengan tatapan meremehkannya. Di sebelahnya, berdiri seseorang yang serupa dengannya seolah mereka terlahir di rahim yang sama dan Laudy tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa seseorang itu adalah Hasan Ganendra, abang kandungnya.

Ada luka yang membasah di ulu hati Laudy ketika kenangannya bersama Hasan di dunia utama terputar di depannya saat itu juga. Mulai dari cuplikan ketika Hasan membelai surainya di ayunan halaman rumah mereka, laki-laki itu berusaha menenangkan Laudy yang tengah terisak karena gagal mendapatkan nilai tinggi di raportnya, kemudian berlanjut ke cuplikan dimana kedua orang tua Laudy yang mengucapkan kata selamat tinggal sebelum menaiki mobil yang membawa mereka entah kemana, yang ditutup dengan cuplikan Hasan yang menghilang lantas meninggalkan Laudy untuk berakhir di sini, di Debu.

DUENDE I: THE KING OF DARKNESS ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang