Kehidupan lima siswa saat berusaha untuk bertahan hidup di lingkungan yang kejam dimana elitisme akademik kembali terjadi di sekolah mereka.
Disinilah mereka menghadapi perasaan baru setelah terkena insiden pembunuhan siswa yg dibunuh oleh temannya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Biasalah hari ini aku berangkat pagi ke sekolah kita tercinta, SMA Cheonmyeong.
Aku kini menjabat sebagai guru konseling, guru mapel hukum, dan wali kelas 2-3 di semester 2 ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.10, waktunya masuk kelas.
Seperti inilah posisi tempat duduk para siswa di kelas yang akan menjadikanku sebagai wali kelasnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saat aku sudah berdiri di depan mereka, mereka semua diam dan bersikap siap.
"Beri salam!" teriak Cheol selaku ketua kelas.
"Selamat pagi, Sossaem." jawab mereka serentak.
"Pagi semuanya, ssaem seneng banget bisa ketemu kalian lagi setelah liburan lama. Oh iya, di kelas 2-3 ini kalian udah dikasih tau kalian ada di peringkat berapa saja?" tanyaku.
"Belum, ssaem." sahut Haena.
"Kami kepo, ssaem. Kasih tau dong." teriak mantan keparat brengsek, Kyeom.
"Baiklah kalo begitu, ini peringkat per kelas ya, kalo yang peringkat seangkatan kan kalian udah pada tau. Ssaem bacain ya."
"Iyaa ssaem."
"Peringkat pertama.... Jatuh kepada...."
Yang jelas bukan Jeon Wonwoo.
"Kim..."
"Ah masa gua sih?" gumam Mingyu gak yakin.
"Kim...Hyunjin! Chukkae, Kim Hyunjin."
Satu kelas memberikan tepuk tangan yang meriah pada Hyunjin.
Hyunjin terlihat tersipu malu.
"Ini beneran ssaem?" bingung Hyunjin.
"Iya beneran."
"Wah, makasih ssaem."
Hyunjin emang keliatan polos dan datar. Biasanya kalo anak dapet rangking satu, pasti udah jingkrak-jingkrak, beda dgn Hyunjin yang keliatan kyk jaga sikap gitu.
