Niatan

54 9 2
                                    

Semua kembali berjalan dengan normal. Banyak yang berubah, kini mereka lebih terbuka satu sama lain. Tak lagi menyimpan masalah sendirian, saling berbagi suka dan duka. Kejadian yang menerpa keluarga mereka, membuat mereka menjadi lebih peduli satu sama lain, membuat hubungan keluarga mereka semakin erat.

Senyum Putri mengembang, matanya menatap foto keluarga kecilnya yang diambil saat acara wisuda Satria. Putri menangis waktu itu, ketika nama kakaknya dipanggil maju ke depan untuk menerima ijazah dan bersalaman dengan dekan dan rektor.

Rasa haru dan bangga membuncah dalam dirinya. Kakaknya telah menyelesaikan pendidikannya dengan baik. Di tengah masalah yang dihadapinya, ia mampu menjalankan kuliahnya tanpa mengeluh.

"Assalamualaikum."

Putri menoleh kearah pintu yang terbuka, senyumannya melebar begitu saja. "Waalaikumsalam." Jawabnya, ia mendekati kakaknya yang baru pulang bekerja, menyalimi Satria.

"Capek ya?, nanti Putri urutin biar capeknya ilang."

Satria mengusap kepala adiknya lembut, "makasih ya."

Adiknya menutup mulut, tertawa kecil. "Putri berasa kaya istri yang nyambut suaminya pulang kerja."

Lengan Satria merangkul pundak putri, "gapapa, anggep aja lagi training sebelum jadi istri nanti. Ayo istri, suami laper mau makan."

"Mari boss, saya antar ke ruang makan."

"Kok mendadak jadi majikan sama pesuruh."

Kini Satria bukan hanya sebagai anak laki-laki tertua di keluarga. Sekarang ia sudah resmi menjadi tulang punggung keluarganya. Satria melarang ibunya untuk bekerja seperti dulu, ibunya sudah tidak muda lagi. Sudah waktunya menikmati masa-masa tuanya dengan tenang. Kini biar Satria menanggung apa yang seharusnya ia tanggung sebagai anak tertua di keluarga ini.

Perceraian ibunya dengan ayah tirinya juga berjalan dengan lancar. Ayah tirinya mengakui semua kesalahan yang diperbuatnya dan meminta maaf. Ayah tirinya itu sampai berlutut di depan ibunya dan Putri, ia menyesali apa yang telah ia lakukan.

Kondisi mental ibunya dan Putri sudah sangat membaik. Mereka sudah benar-benar memaafkan laki-laki itu, dan menerima kejadian itu sebagai pelajaran di masa lalu.

Kabar yang paling baiknya Putri sudah tidak merasa takut lagi dengan laki-laki. Sejak ia memutuskan untuk memaafkan ayah tirinya, dan mencoba ikhlas dengan apa yang telah terjadi. Perasan takut itu menghilang dengan sendirinya. Ia sudah mengetes itu dengan teman laki-laki di kelasnya.

"Satria mau serius dengan Thania. Satria mau melamar Thania."

Uhuk.

Putri tersedak nasi, dengan sigap Satria membantu adiknya untuk minum sambil mengusap pundaknya. "Waktunya kurang tepat ya?. Maaf ya."

Adiknya mengangkat tangan kanannya pertanda ia sudah baik-baik saja. "Putri cuma kaget aja, tiba-tiba kakak ngomong gitu."

Dewi menatap anak sulungnya yang sudah dewasa. "Kamu yakin dengan keputusan itu?. Kamu sudah bener-bener siap?, menikah dengan Thania bukan hanya menerima Thania, tapi kamu juga harus menerima anaknya dan masa lalunya."

Satria mengangguk yakin, "Satria yakin Ma, Satria udah mikirin ini dari sebelum Kalvi lahir. Satria menerima Kalvi beserta masa lalu Thania. Sama Thania, Satria bisa jujur dengan diri Satria sendiri. Thania bisa buat Satria nyaman cuma dengan senyumannya. Yang paling penting, Thania sayang sama Mama dan Putri."

"Kalau kamu sudah merasa yakin dan siap, segera lamar Thania. Mama akan mendukung keputusan yang kamu buat."

"Putri dukung, kak Thania baik banget sama Putri dan Mama. Selain kak Attaya dan Kak Ammy, kak Thania adalah satu-satunya yang lolos seleksi Putri."

Tuan Putri dan K(satria) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang