Masih Bisa Tertawa

54 8 0
                                    

Alden menghentikan langkahnya mendekati Putri. Ia menangkap raut gelisah diwajah Putri, gestur tubuhnya mengatakan rasa tak nyaman. Alden berusaha mengerti, Putrinya butuh waktu.

Putri menunduk, menghindari tatapan orang-orang disana. Attaya menuntunnya ke meja makan, mengajak Putri makan bersama. "Kamu mau makan lagi Tay?." Amaris bertanya, ia tau Attaya bukan tipe orang yang mudah lapar.

"Aku makan sedikit tadi."

"Kamu kan emang makannya sedikit, kalo Ammy baru tuh.. Porsi kuli." Sambung Alden sambil menarik kursi untuk Putri duduk.

Alden sendiri tak ikut bergabung duduk, ia memilih kembali keruang tamu menemani Ali. Putri mungkin merasa kurang nyaman dengan keberadaannya, Alden menyadari itu.

"Kak Satria duduk, ikut makan." Kata Attaya sambil menyendokkan nasi goreng ke piring Satria.

Attaya sudah biasa makan dan memasak dirumah ini, ia sudah menganggap dapur dirumah ini  seperti dapur rumahnya. Ibu Satria yang menyuruh mereka menganggap rumah ini sebagai rumah mereka sendiri.

Amaris duduk kalem, ia tidak ingin banyak berulah untuk saat ini. Matanya sibuk memandangi ponsel pintar miliknya, menggulir layar lalu mengetik sesuatu diatasnya.

"Kenapa?, Arnold ngajak balikan?."

Amaris berdecih, "siapa Arnold?, juri Masterchef?."

Satria terkekeh senang, menggoda Amaris lalu melihat wajah kesalnya menjadi hiburan bagi Satria. Perempuan itu selalu memasang wajah kesalnya bila nama mantannya itu disebut.

"Udah move on dia Kak, sekarang lagi galauin yang lain." Kata Attaya membuat Amaris misuh-misuh sendiri.

"Yang nunggu tanpa kepastian itu?." Ledek Satria sambil menoel pipi Amaris.

Amaris meniup pipinya hingga mengembung, "Aku cantik aku diam."

"Ingat, kamu memang punya kontaknya tapi tidak dengan hatinya."

Mereka tertawa mendengar perkataan random Satria. Termasuk Putri yang sedari tadi hanya diam memperhatikan. Pikiran tentang kejadian semalam teralihkan, perlahan rasa gugup dan gelisahnya memudar.

"Ngetawain apasih?, seru banget kayanya."

Si sulung Alifio ikut bergabung, menarik kursi untuk duduknya. Sebelum duduk ia menatap Putri sambil tersenyum, "hormat saya, Tuan Putri. senang bertemu dengan Tuan Putri."

Putri tersenyum malu, pipinya kini memerah mendengar sapaan yang biasa Ali katakan padanya dulu ketika kecil. "Senang juga bertemu kaisar Ali."

Biasanya Putri akan memeluk Ali dengan senang hati. Tapi untuk saat ini, Putri masih belum bisa menepis perasaan takutnya pada laki-laki selain Satria.

"Udah lama juga ya kalian gak nyapa ala-ala penghuni kerajaan kaya tadi." Ujar Amaris, dulu ia akan kesal bila melihat adegan itu.

Attaya mengangguk, "iya, biasanya Putri pura-pura ngangkat roknya terus bungkuk sedikit. Lucu ya kalo di inget-inget Putri kita dulu."

"Apalagi waktu masuk kedalam kardus minta ikut pindahan." Sambung Ali terkekeh mengingat kejadian itu.

Putri menunduk, pipinya tambah memerah. Jelas ia sangat ingat kejadian memalukan itu, siapa lagi anak kelas 2 SMP yang ngambek sampai masuk kedalam kardus, hanya Putri seorang.

Yang lain tertawa geli, mereka mulai menceritakan hal-hal memalukan Putri yang lainnya. Mau tak mau Putri ikut tertawa meski hal memalukan itu tentang dirinya. Lalu obrolan itu merembet jadi ajang buka aib satu sama lain. Melewati masa kecil bersama, membuat mereka hafal kenangan memalukan satu sama lain.

Tuan Putri dan K(satria) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang