Si Tengil Putri

108 11 15
                                    

Suara gemeletuk api yang berasal dari kayu dibakar menemani malam mereka. Asap putih membumbung tinggi akibat Satria yang mengipasi api terlalu kencang. Percikan api membentuk titik-titik melayang diantara tumpukan kayu yang dibakar.

"Kak, asapnya kemuka Putri."

Gadis itu menutup hidung dengan sebelah telapak tangannya. Matanya menatap lurus jagung yang sudah ditusuk bagian tengahnya. "Jagung Putri warnanya gak berubah-ubah."

"Emang harusnya berubah warna apa?."

"Ungu."

Satria terkekeh kecil, ia menghentikan kegiatan mengipasi api. "Pegel juga ya tangan."

Jagung yang dibakar Putri sudah mulai kecoklatan. Ia menjauhkan jagungnya dari api, "segini udah mateng?."

"Coba sini liat."

Kini jagung itu berpindah ketangan Satria. Kakaknya mengangguk-anggukan kepala, lalu menggigit jagung itu. "Iya, mateng."

Putri memajukan bibirnya kesal, ini sudah jagung kedua yang ia bakar dan berakhir dimulut Satria. Ia bahkan tidak mencicipi jagung pertamanya. "Jangan diabisin, Putri kan mau nyobain."

"Eh iya, lupa. Keterusan makannya."

Akhirnya Putri mendapatkan kembali jagung bakarannya. Ia menggigit jagung itu, "Uwah panas!."

Mulut Putri terbuka lebar membentuk huruf O besar. Tangannya mengipasi mulutnya, "kakak kok gak bilang jagungnya panas."

"Masasih, tadi kakak makan biasa aja perasaan."

"Makanya jangan pake perasaan mulu Kak, susah."

Gemas, Satria menarik kedua pipi Putri hingga mata gadis itu menyipit. "Adek kakak udah gede ya?, udah bahas perasaan."

"Masa Putri kecil mulu kaya upin ipin."

Tangan besar Satria mengacak-ngacak rambut Putri hingga berantakan. Kunciran Putri sampai kendor karena ulah kakaknya. Putri menangkap kedua tangan Kakaknya, "tangannya iseng banget sih, sunatin nih!."

Satria tertawa, tawanya makin kencang ketika Putri berusaha memasukkan jari kelingking Satria ke lubang hidungnya. "Kelingkingnya mau dimasukkin ke black hole."

Tawa keduanya terurai, begitu lepas tanpa beban. Kebahagiaan terpancar jelas dimata keduanya, binar mata mereka seperti api yang membara. "Duh yang bakar jagungnya malah ketawa-ketiwi, pelanggan udah nungguin nih."

"Mah, masa Kelingkingnya Kakak gede banget, gak muat di idung Putri."

"Lobang idung kamu yang kekecilan Put, sempit kaya lobang sedotan aqua gelas."

"Dih, kecil banget dong!."

Satria kembali tertawa saat melihat ekspresi wajah Putri ketika mengatakannya. Tawanya Satria bersifat mengajak, membuat Putri dan Ibunya ikut tertawa. Mereka tertawa karena suara tawa Satria yang lucu, matanya sampai tinggal segaris saking gelinya tertawa.

"Perut aku sakit ketawa mulu." Ujar Satria setelah tawanya reda.

"Kak itu Kak Thania gak ada yang nemenin kasian."

"Lah, kok jadi Kakak. Kamulah yang nemenin."

"Dih, sok sok nolak padahal dalem hati mah mau."

"Mah tuh Putri tuh, sekarang suka banget ngeledekkin."

Ibunya hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan tingkah kedua anaknya. Ia mengambil jagung di nampan lalu membakarnya, "udah sana temenin Kak."

Satria menatap Ibunya bingung, "Mama kok jadi ikut-ikutan Putri."

Tuan Putri dan K(satria) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang