“Ibu nggak tau lagi harus ngomong apa,” bu Ningsih memijat pelipisnya. “Kalian berdua.. keluar, hormat ke tiang bendera. Sekarang!” bentak bu Ningsih yang langsung membuat seisi kelas terlonjak kaget, apalagi gue dan Rayhan. Baru juga tadi selesai upacara, masa harus hormat lagi sih?
Gue yang mendengarnya hanya mendesah pasrah. Untuk kedua kalinya gue mesti hormat ke tiang bendera gara-gara pelajaran Matematika. Dulu, gue pernah hormat ke tiang bendera sendirian sampai istirahat cuma karena tugas rumah gue yang benar satu, dan selebihnya salah semua. Iya, cuma. Tapi setelah itu, gue pingsan gara-gara kepanasan. Dan bu Ningsih sekarang masih tega nyuruh gue hormat?
Berbeda dengan gue yang keliatan pasrah, raut muka Rayhan malah terlihat seperti tidak terima dengan hukuman yang diberikan bu Ningsih. Dia menatap bu Ningsih dengan alis yang bertaut sambil berkata, “Saya nggak terima sama hukuman yang ibu kasih,” –tebakan gue bener. “Apa nggak bisa kalo hukumannya yang berguna dikit gitu bu?”
Bu Ningsih menatap Rayhan bingung, namun sedetik kemudian dia terseyum –yang langsung membuat gue merinding melihatnya. Jangan sampe hukumannya yang aneh-aneh, “Kumpulin sampah anorganik dari semua kelas, bersihin, lalu bawa ke bank sampah di belakang sekolah. Sanggup?”
Mulut gue langsung terbuka mendengarnya. Gue melirik Jea, Nasha, dan Intan yang terkikik geli –pasti karena tebakan mereka benar. Satu fakta yang terlupakan oleh gue, kalo bu Ningsih itu salah satu pendiri bank sampah yang paling semangat mempromosikan kegiatan daur ulang sampah. Makanya, kalo ngeliat bu Ningsih pasti keinget sampah, hahaha.
Rayhan melirik gue meminta persetujuan, dan gue hanya mengangkat bahu terserah.
Cowok itu menghela nafasnya, “Sanggup, bu.” Katanya setengah hati.
Bu Ningsih mengangguk sambil tersenyum lebar, “Ya sudah, selamat bekerja!”
-
-
“Lo tempat sampah 9D sama 9E, gue tempat sampah 9A sampe 9C.” Perintah Rayhan. Dan gue masih diam mematung kayak orang linglung. “Cepetaan!” Rayhan berseru yang langsung membuat gue sadar dan segera berlari menuju tempat sampah di depan kelas 9D.
Gue membuka tutup tempat sampah dengan ogah-ogahan. Berasa apa gitu daritadi gue ngaduk-aduk isi tempat sampah, apalagi tempat sampahnya kelas 9D. Inikan kelasnya kak Fayhar, kalo ada temennya kak Fayhar yang ngeliat, mati deh. Gue udah malu-maluin nama baik kak Fayhar yang cinta kebersihan.
Kantung plastik di tangan gue udah hampir penuh. Gue melirik Rayhan yang masih serius mengaduk-anduk isi tempat sampah kelas 9A. Gue tertawa kecil melihatnya. Mukanya itu looh, serius banget kayak lagi ngerjain soal Matematika. Haha.
Pluk!
Tiba-tiba sebuah botol plastik ntah darimana tepat menimpuk kepala gue. Gue langsung berjengkit kaget dan mengusap-usap kepala gue yang kena timpukan tadi dengan refleks.
“Ups,salah sasaran!” di depan kelas 9E, seorang cowok berkacamata nyengir yang membuat matanya tinggal segaris. Gue memperhatikannya dengan seksama, rasanya kayak pernah liat deh.
Tatapan gue berubah menjadi kesal, dia buru-buru mengangkat kedua telapak tangannya –yang salah satu memegang botol kemasan air mineral- sebagai tanda menyuruh gue menahan marah. gue malah mengangkat sebelah alis seperti menantangnya.
“Lo pemulung yang ngendap-ngendap masuk sekolah ya?” bisiknya dengan nada mengintrogasi.
Gue yang nggak terima dengan tuduhannya langsung meremas botol plastik bekas di tangan gue. Apa tadi? Pemulung? Udah ditimpuk, ngeledek pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Math is My Life
Teen FictionSemua bermula dari kebodohan gue di pelajaran Matematika. Dia datang, membawa harapan 'lo pasti bisa keluar dari kebodohan di pelajaran yang membutuhkan banyak rumus itu'. Dan semua berakhir saat gue bisa keluar dari kebodohan itu, tapi terjebak dal...