22//Lapang Dada

1.2K 83 21
                                    


Gue keluar kamar dengan tergesa-gesa. Berjalan menuju meja makan, di sana sudah ada Ayah dan Bunda yang masih berkutat dengan pengggorengannya di dapur. Jam enam lewat lima belas, dan Bunda baru menyiapkan sarapan?

“Pagi, Yah.” Gue menarik kursi tepat di depan Ayah lalu mendudukinya. Mengedarkan pandangan, dimana kak Fayhar?

“Pagi juga, Fiza.” sapa Ayah lembut. Beliau menyesap kopinya, lantas kembali berkutat dengan smartphone di tangannya.

Bunda datang lalu mensajikan nasi goreng yang baru matang. Di tangannya yang lain, ada sebuah kotak bekal. Gue menerima kotak bekal tersebut dengan bingung.

“Fiza berangkat sekarang, ya. Sarapannya di bus aja nanti.” Ucap Bunda.

Walaupun masih setengah bingung, gue akhirnya menuruti perkataan Bunda. Menggendong tas, lalu mencium tangan Bunda dan Ayah. Pandangan gue masih terus beredar mencari keberadaan kak Fayhar.

Bunda mengantar gue menuju pintu utama sementara Ayah masih sarapan di meja makan. Sebelum pergi, gue menanyakan sesuatu yang mengganjal, “Bun, Kak Fayhar hari ini nggak sekolah? Kenapa?”

Bunda menghembuskan nafasnya perlahan sambil mengusap kedua pundak gue lembut. “Kakakmu tetap sekolah, tapi dia datang terlambat.”

Terlambat?

Gue mengunyah nasi goreng perlahan. Untungnya pagi ini gue kebagian tempat duduk, jadi gue bisa menikmati sarapan dengan tenang dan nyaman di bus.

“Sayang banget Jum’at kemaren lo pulang duluan,”

“Kenapa emang? Apa ada kejadian seru?”

“Iya, kakak kelas sembilan ada yang berantem tonjok-tonjokan di tengah lapangan Jum’at kemaren! Bahkan katanya ya, mereka kena skors.”

Gue merasa terusik dengan obrolan dua cewek yang duduk di kursi belakang gue ini. Mengintip melalui celah bangku, gue bisa melihat seragam sekolah mereka sama seperti yang gue pakai. Kembali ke posisi normal, gue masih mengunyah nasi goreng yang sedari tadi gue simpan di mulut secara perlahan.

Gue penasaran, siapa siswa kelas sembilan yang dua cewek itu maksud?

**

Bel istirahat berbunyi. Seperti gue yang terburu-buru membereskan alat tulis, Intan dan Jea juga terlihat sama. Bahkan Intan langsung ngacir keluar kelas tanpa mengucapkan sepatah kata pun, membuat gue dan Nasha saling pandang beberapa saat.

“Jea!” sebuah suara mengagetkan datang dari jendela yang berada tepat di sebelah Jea. Bintang, sedang melipat tangannya di kusen jendela sambil tersenyum lebar untuk ... Jea?

“Ngapain lo disini?” gue buru-buru bertanya. Takut kejadian cairan pembersih lantai terulang lagi.

Jea dan Bintang terkekeh melihat wajah parno gue. Jea menepuk-nepuk pundak gue pelan, seperti menyuruh untuk tenang.

Gue menatap mereka meminta penjelasan, begitu juga Nasha.

Jea mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah gue dan Nasha, “Ada misi rahasia yang harus gue lakukan sama Bintang. Jadi, gue izin nggak ikut ke kantin hari ini bareng kalian, ya.” katanya setengah berbisik.

Tanpa pamit, hanya dengan mengedipkan sebelah mata dan menyeringai, Jea pergi begitu saja bersama Bintang.

Gue meringis. Harusnya cuma gue yang izin nggak bisa ikut makan bareng di kantin hari ini. Tapi kenapa jadi Jea dan Intan juga ikut-ikutan kabur, sih? Gue menatap wajah bingung Nasha yang duduk di depan gue. Kali ini, gue yang harus pamit untuk pergi.

“Nash,”

“Gapapa, Fiz, gapapa. Gue ke kantin sendirian, gapapa. Lo pada punya urusan masing-masing juga gapapa. Gue ditinggal makan sendirian, gapapa kok, gapapa.” Nasha mengibaskan tangannya dan berjalan begitu saja meninggalkan gue keluar kelas.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang