Menunggu adalah hal yang paling membosankan, gue tau itu. Karena setiap hari gue pasti menunggu. Menunggu bel istirahat, bel pulang, Kak Fayhar pulang, dan doi peka. Eh. Sama seperti sekarang, udah hampir lewat setengah jam dari pukul empat, dan Kak Fayhar belum nyamperin gue juga. Keluar kelas aja belum. Haiih, udah berapa kerikil coba yang gue tendang saking keselnya menunggu?
"Aw!" ringis seseorang tiba-tiba. Gue celingukan mencari sumber suara. Dan -owh, karena menunggu kemampuan menendang gue seketika meningkat. Orang yang meringis itu, korban tendangan kerikil gue yang nyasar kena kepalanya.
Gue yang melihatnya ikut meringis. Gue baru menyadari kalau yang mengenai kepala orang tersebut bukan kerikil, melainkan kaleng soda. Dan sepertinya, gue mengenal orang tersebut. Apa menunggu juga bisa membuat orang menjadi nggak sadar sama apa yang diperbuatnya?
Dia -korban tendangan kaleng soda gue itu menoleh ke arah gue sambil mengusap kepalanya.
"Kak Fayhar?!" gue sangat-sangat terkejut.
Ekspresi kesal Kak Fayhar berubah menjadi terkejut saat melihat tersangka yang menendang kaleng soda tepat mengenai kepalanya -ternyata adeknya sendiri.
Gue buru-buru menghampiri Kak Fayhar yang masih meringis, "Duuh, Kakak ku yang tampaan. Maafkan adikmu iniii. Aku sungguh tidak sengaja," kata gue setengah bercanda. Padahal di dalam hati, gue panik setengah matii. Kalau misalnya Kak Fayhar kenapa-kenapa gimana? Nanti gue dimarahin Bunda sama Ayaah lagi. Atau, nanti Kak Fayhar nggak mau bayarin ongkos pulang gue lagi?! Itu lebih bahayaaa.
Masih sambil mengusap kepalanya yang kesakitan, Kak Fayhar menghembuskan nafasnya, "Iya-iya Kakak emang tampan, nggak usah diulang-ulang terus napa,"
Haah, legaa. Kalau kesombongan Kak Fayhar keluar, berarti tandanya Kak Fayhar nggak marah sama guee.
Gue mendecakan lidah, "Emang Kakak mau kalo kegantengannya nanti dicabut gara-gara sombong mulu?" tanya gue.
Kak Fayhar menaikan sebelah alisnya, "Ini udah permanen, susah buat dicabutnya," jawab Kak Fayhar dengan sok gantengnya.
Gue memandang Kak Fayhar takjub, nggak percaya sama apa yang dibilangnya tadi. "Huh! Aku doain loh, semoga kegantengan Kak Fayhar di-"
"Udah-udah, ayok pulang. Ngoceh mulu sih," potong Kak Fayhar. Dan tanpa seizin gue, Kak Fayhar dengan seenaknya merangkul bahu gue sambil berjalan. Gue memandang Kak Fayhar dengan sinis.
Kak Fayhar membalas tatapan gue, "Kenapa? Mendadak grogi yaaa?" katanya sambil mengedip sok imut.
Gue hanya memutar bola mata malas. Sebenarnya gue udah terbiasa dirangkul sama Kak Fayhar setiap pulang sekolah -owh, setiap saat mungkin. Karena jiwa modus Kak Fayhar tinggi, sama kayak Jea. Eh. Dan gue juga udah terbiasa dengan tatapan sinis campur sirik orang-orang di luar sana yang melihat gue dirangkul sama Kak Fayhar. Kadang, gue ngerasa bangga sendiri sih dirangkul sama cowok ganteng (untuk kedua kalinya gue mengakui ketampanan Kak Fayhar), karena rata-rata yang melempar tatapan sinis campur sirik ke gue itu cewek-cewek yang terpesona dengan Kak Fayhar~
"Oiya dek, kok Kakak nggak ngeliat si ketua kelas itu ya?" Kak Fayhar melepaskan rangkulannya saat tiba di halte bus depan sekolah.
Gue menghempaskan tubuh ke bangku halte terlebih dahulu, baru diikuti Kak Fayhar. Gue ngerti kook, siapa yang dimaksud Kak Fayhar.
"Rayhan sibuk, dia udah pulang,"
"Sibuk ngapain?"
"Sibuk latihan-"
Tiba-tiba ponsel gue berdering, ada panggilan masuk dari.. Intan? tumben. Gue segera mengambil ponsel di saku baju dan menjawab panggilan Intan.
"Assalamu'alaikum, Fiza!"suara cempreng Intan terdengar ceria di seberang sana. Tumben.
KAMU SEDANG MEMBACA
Math is My Life
Novela JuvenilSemua bermula dari kebodohan gue di pelajaran Matematika. Dia datang, membawa harapan 'lo pasti bisa keluar dari kebodohan di pelajaran yang membutuhkan banyak rumus itu'. Dan semua berakhir saat gue bisa keluar dari kebodohan itu, tapi terjebak dal...