19//"Duduk, Kerjakan, Lupakan."

1.2K 108 23
                                    

Suasana kelas yang riuh, ramai, tak teratur membuat suhu di kelas semakin memanas. Gue semakin merasa kegerahan karena hal itu, ditambah lagi, baru selesai upacara. Huh, habis sudah baju gue yang basah karena keringetan.

“Fiz, lo udah ngerjain PR?” tanya Lula di samping gue, dengan pensil di tangannya dan buku tulisnya yang terbuka. Menampilkan kerjaannya yang baru sampai nomor tiga.

Iya, Lula. Bukan Jea.

Jangan berfikiran jika gue tengah bertengkar hebat dengan Jea. Bukan, itu salah besar. Gue mengungsi ke sebelah Lula karena tempat duduk gue dengan seenaknya sudah ditempati oleh mereka-mereka. Nggak, gue nggak marah. Cuman terkadang, suka kesel aja sih.

Gue nyengir, seperti biasa. “Belom, bahkan gue nggak inget kalo ada PR.”

Lula mengangguk-angguk sambil terkekeh. “Yah, kita mah apa atuh ya, Fiz. Nggak ngerti Mtk,”

Sama-sama nggak mengerti Mtk, bukan berarti mempunyai nasib yang sama juga. Lula jarang banget kena semprot bu Ningsih, karena dia memiliki sifat yang baik; berusaha untuk memahami Mtk walaupun pada akhirnya tetap nggak ngerti. Berbeda dengan gue yang selalu bodo amat sama mapel yang satu ini.

Tapi biarpun begitu, saat awal kelas 8 kemarin, gue sempet shock berat begitu liat hasil Ulangan Harian pertama Mtk gue yang jauh dari harapan.

“Lo sendiri? Gak coba nanya cara nomor selanjutnya ke Laurel?”

Kalo gue mempunyai teman dekat Intan, Jea, Nasha yang pintar Matematika, Lula mempunyai Laurel yang nggak diragukan lagi soal keenceran otaknya di bidang Matematika. Yah, walaupun Laurel sendiri masih sering berkonsultasi dengan duo master of Math-nya 8B, Intan dan Rayhan.

“Gue cuma sempet nanya cara tiga nomor, tujuh nomor selanjutnya susah. Lo liat sendiri tuh,” Cewek dengan tinggi 165 cm itu menunjuk kerumunan di meja gue dan Jea. “Gue aja sampe nggak bisa liat Laurel yang duduk di sebelah Jea saking padetnya. Gimana gue mau nanya ke dia kalo gitu?”

Gue mempuk-puk bahu Lula. Sebagai teman yang memiliki kesamaan belum bisa akrab dengan Matematika, gue tau perasaan Lula. Memiliki teman dekat yang pintar seperti gue dan Lula, nggak menjamin kami berdua bisa selalu bertanya kepada mereka. Bisa dibilang, Laurel jauuh lebih perhatian soal mengajari pelajaran rumit itu ke Lula, dibandingkan ketiga teman gue. Tapi, saat keadaan seperti ini, Laurel langsung sibuk sendiri berdiskusi jawaban, cara, dan apalah yang menyangkut PR-Matematika-minggu-lalu dengan anak-anak lain yang mengerti. Termasuk ketiga teman gue.

Kadang jidat gue bisa sampe berkerut-kerut kalo denger mereka berdebat. Bingung aja, emang seribet itu ya jawabannya? Hanya orang-orang yang mengerti sajalah yang tau.

“Kita nih sama-sama orang yang berkebutuhan khusus di bidang Mtk.” Lula menatap kosong papan tulis di depannya, “Kadang gue ngerasa sebel sama diri gue sendiri yang bego pake banget di bidang Mtk. Apa susahnya coba, tinggal tambah, kurang, bagi, kali?”

Gue hanya terdiam. Yah, memang terlihat gampang. Tapi kalo nggak ngerti, mau diapain juga tetap aja terlihat susah.

“Permisi?”

Sebuah suara di ambang pintu kelas sana berhasil membuat kegiatan teman sekelas gue terhenti seketika. Mereka menatap si pemilik suara tanpa berkedip.

Kak Fayhar terlihat kikuk diperhatikan oleh seluruh pasang mata temen sekelas gue. Kakak gue itu menampilkan cengirannya sekilas sambil berkata, “Ada Fizanya?” tanyanya sambil celingukan.

Mencari gue? Tapi kenapa Jea yang berdiri terlebih dahulu? Gue memutar bola mata jengkel. Modus lagi, modus lagi. Sementara itu para penghuni lainnya sudah kembali ke aktifitas masing-masing, kecuali yah … beberapa anak cewek yang terlihat curi-curi pandang.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang