17// Who Are You, Stranger?

1.3K 90 7
                                    

Drink tea with stranger

“Ehem,” gue berdehem, sebagai tanda sapaan.

Meja 11 terlihat begitu berantakan. Ada lebih dari tiga buku tebal memenuhi meja tersebut, dan pastinya sebuah cangkir teh di sudut kanan cowok berseragam sekolah lain itu. Kepalanya benar-benar tertunduk dalam, dengan tangan kiri yang memegang pensil terlihat menari-nari di atas buku tulis.

Dan, cowok kidal ini begitu serius sampai-sampai sapaan gue pun tak dihiraukan.

Gue terdiam mematung di sebelah kursi kosong di hadapan cowok kidal nggak peka ini. Gue bingung, apa yang harus gue lakukan sekarang? Duduk dengan cueknya di kursi kosong ini, atau kembali lagi ke lemari kayu tua itu untuk mengambil kunci keberuntungan lain?

Yah, daripada gue terlihat seperti anak kecil yang tersesat di tengah mal karena terpisah dari orangtuanya, mending untuk kali ini aja gue nunjukin sifat gak-tau-malu nya seorang Fiza.

Gue duduk di kursi kosong tersebut, meletakkan nampan, lantas mulai menyesap teh hitam campur susu yang mulai menghangat ini. Penasaran, gue memajukan badan sedikit ke depan untuk melihat, apa yang sebenarnya cowok ini kerjakan?

Jawabannya, ia sedang mengerjakan soal Matematika.

Tubuh gue melemas seketika. Hati gue mencelos, dalam sekejap gue terduduk kembali dengan ekspresi wajah aku gak bisa diginiin. Walaupun gue sedang dalam tahap berdamai dengan Matematika, tapi di hati gue sisa-sisa perasaan benci itu masih ada yang tertinggal.

Mood gue semakin turun melihat kehadiran Matematika. Gue membuang wajah ke jendela kaca di sisi kiri. Sejujurnya, hari ini gue lagi males banget berkomunikasi sama orang-orang yang berhubungan akrab dengan Matematika.

“Eh ada orang,” cowok yang baru sadar akan kehadiran gue itu terkekeh sambil membenahi buku-bukunya yang berserakan itu. “Hai,” sapanya yang terdengar cukup riang.

“Hai, hai,” gumam gue mengulang perkataan cowok itu. “Daritadi gue duduk di sini nggak ditanggapin cuma karena Matematika. Sakidh tau,” –saat bergumam pun gue masih menggunakan bahasa alay-

“Curhatnya kurang kenceng mbak, nggak kedengaran.”

Gue menoleh dengan mata yang melotot, dan tepat bertuburukan dengan mata cowok kidal nan nggak peka nan SKSD di depan gue ini. Di detik ke enam, akhirnya kontak mata kami lepas.

“Mbak-mbak, SKSD tau gak,”

“Oh yaudah, ayo kita kenalan biar gak SKSD,” cowok kidal bermata coklat terang itu menaikan sebelah alisnya.

Mata gue semakin melotot mendengar ajakannya.

Ia berdehem, “Nama gue Kaindra. Kalo lo merasa kepanjangan, lo boleh panggil gue Kai. Tapi please, jangan panggil gue Indra untuk saat ini. Kecuali ketika lo ketemu gue lagi sepuluh tahun mendatang saat gue udah jadi bapak-bapak dengan anak satu, gue baru mengizinkan lo memanggil gue dengan nama Indra.”  Dia nyengir, lalu berkata lagi, “Nah, kalo lo?”

Gue terbengong-bengong menatapnya. Antara nggak yakin tadi dia ngomong, dan nggak yakin kalau makhluk di depan gue ini manusia. Bahkan sampai menit ke empat, gue masih terdiam bingung menatap uluran tangannya.

Cowok SKSD kidal bermata coklat terang yang ternyata bernama Kaindra itu menggoyang-goyangkan uluran tangannya, “Mbak, tolong ya mbak. Jangan kebanyakan mikir, tangan saya pegel nih,”

Akhirnya gue menimpali, “Lah terus, gue harus apa?”

Dengan gerakan super cepat –secepat tadi ia ngomong, cowok bernama Kaindra itu mengambil tangan kanan gue untuk membalas uluran tangannya.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang