18//Simbiosis Mutualisme

1.2K 86 9
                                    

Gue menatap nanar pensil tumpul nan tak terawat di tangan gue ini. Entah kapan terakhir kalinya gue meraut ini pensil, tapi yang pasti, pensil kayu yang masih panjang ini ada dari zaman gue lagi pusing-pusingnya menghadapi UN kelas 6 SD kemarin sampai saat gue kelas 8 sekarang.

Dan sebagai tahap awal gue untuk berubah adalah, meraut pensil ini. Terdengar lucu, tapi memang benar selama ini gue jarang –bahkan gak pernah meraut pensil-pensil gue. Buat apa? Toh, gue nggak pernah takut salah mengerjakan soal Matematika dengan menggunakan pensil terlebih dahulu, karena pada akhirnya jawaban gue pasti salah. Dan gue memilih langsung mengerjakannya dengan pulpen.

Pemikiran gue memang kadang-kadang.

Mencari rautan biru kesayangan gue di tempat pensil, namun tidak ada. Gue terus mengaduk-aduk isi tas, sampe akhirnya rautan berbentuk tabung sedang berwarna biru tersebut muncul secara tiba-tiba di bagian samping tas, tempat biasa menyimpan tempat minum.

Rautannya ngajak main petak umpet sama gue nih.

Selesai meraut, gue menyimpan pensil tersebut di atas meja dengan hati-hati. Sebelum membuang sampah sisa rautan pensil yang menumpuk itu, mata gue nggak sengaja melihat gulungan kertas kecil di dalam rautan tersebut.

Penasaran, gue mengambilnya sambil menerka-nerka. Jangan-jangan … itu pesan rahasia yang isinya surat cinta lagi? Eh, gue mulai melantur.
Mata gue melebar begitu gulungan kertas tersebut terbuka.

Buruan add LINE gue /Kaindrarthnbl/ sebelum jam berdentang tepat di jam 12!!!
Karna jam segitu gue udh bobo ganteng, hehehe.
-ttd, cowo SKSD-
(P.s)  gue sangat-sangat menunggu digreet duluan sama lo.

Apa-apaan ini ….

Cowok SKSD itu lagi-lagi membuat gue terbengong-bengong, sekaligus tersenyum. Yah, tersenyum.

Entah dorongan apa, ponsel yang semula sudah gue simpan jauh-jauh dari jangkauan karena takutnya mengganggu konsentrasi saat belajar nanti, sekarang sudah ada digenggaman.

Hafiza Khaira : udah gue greet nih. Sekarang mau lo apa?

Tangan gue dengan lincahnya langsung mengetik pesan untuk cowok SKSD itu setelah meng-add LINE nya.

Kaindra Arthanabil : jutek banget sih, mbak.

Gue memutar bola mata jengkel membacanya. Walaupun gitu, kedua ujung bibir gue ini dengan sendirinya menlengkung ke atas.

Hafiza Khaira : stop panggil gue mbak! Nama gue Fiza.

Kaindra Arthanabil : lebih seneng manggil mbak ^^ h3h3h3.

Hafiza Khaira : eh sadar eh. Jangan keluarin jiwa alay lo di depan gue, plis.

Kaindra Arthanabil : 6pp d0n6. W k4n L46! bl4j4r tu1!54n 414y, h3h3h3.

Hafiza Khaira : DIH. JAUH-JAUH LO ANAK ALAY!!

Kaindra Arthanabil : kasar amat mbak, jadi gemesh *eh

“BUNDAAA FIZA KETAWA-KETAWA SENDIRI GITU IH, HOROR. FAYHAR TAKUUUT!”

Di depan pintu kamar, Kak Fayhar tengah menatap gue horor tanpa berkedip.

“Tolong Fiz. Jangan cekikikan kayak setan gitu malem-malem gini.” ucap Kakak gue disela-sela nafasnya yang nggak teratur itu. “Cepet ke ruang makan buat makan malem,”

Setelah kepergian Kakak gue yang kedatangannya tak diundang itu, gue buru-buru membalas pesan Kaindra.

Hafiza Khaira : chatnya dilanjut kapan-kapan ya. Gue gak mau dimarahin kaka gue lagi, gue mau makan malam, dan gue mau belajar.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang