16//11

1.3K 86 4
                                    

Semua ini nggak akan terjadi kalau gue nggak telat ngumpulin tugas rangkuman IPS. Gue keluar kelas sepuluh menit setelah bel pulang berbunyi, itupun gue malah lari-larian di sepanjang koridor menuju kantor guru. Gue kembali ke kelas dalam waktu lima belas menit, karena ngos-ngosan abis marathon dadakan. Beres-beres lima menit, dan jadilah gue benar-benar keluar sekolah setelah tiga puluh menit bel pulang berbunyi.

Telat tiga puluh menit, gue ketinggalan bis pulang.

Huh. Ini juga akibat karena gue nolak tawaran tebengannya Jea.

Sial, sial, sial. Hari Selasa yang buruk.

Mendecak, lalu bangkit dari bangku halte. Menoleh kanan-kiri, nggak ada tanda-tanda bis selanjutnya akan datang. Dengan berat hati, gue melangkah gontai menjauh dari sekolah.

Sepanjang perjalanan tanpa tujuan, dengan bibir cemberut dan kepala tertunduk, gue menggenggam erat tali tas kuat-kuat, sambil sesekali menendang kerikil-kerikil yang menghalangi jalan.

Semenjak kejadian tadi pagi … gue sedikit galau. Duh, kenapa sekarang gue bener-bener menjadi remaja tanggung yang galau karena patah hati gini sih? Padahal selama ini gue selalu menghina Jea alay, kalo udah ngeliat dia ngegalauin Kak Fayhar cuma karena Kakak gue itu ketawa-ketawa sama temen cewek sekelasnya.

Dan sekarang, suka nggak suka ‘gelar’ alay itu gue tujukan untuk diri gue sendiri.

Saat tiba di perempatan jalan, gue mulai merasakan aroma khas menenangkan dari seberang jalan. Gue mengangkat kepala, dan menemukan sebuah café sederhana bercat putih dengan tulisan ‘Kiyoshi Teashop’. Wah, itu café favorit gue! Nggak nyangka ya, kaki gue ini tau aja kemana gue harus pergi untuk menenangkan diri.

Gue segera menyebrang jalan, dan berjalan penuh semangat menuju bangunan yang cukup besar namun terlihat sederhana itu. Membuka pintu, dan terdengar gemerincing bel ala café pada umumnya. Gue mengedarkan pandangan, dan tanpa sadar gue tersenyum sendiri.

**

Café ini terlihat lenggang. Nggak banyak pengunjung yang datang. Tapi baguslah, semoga aja gue dapet nomor meja yang pas di pinggir jendela.

“Koucha tea campur susu satu,”

Pelayanan di depan gue dengan sigap mengambil nampan dan meletakannya di depan gue, mulai meracik teh pesanan gue, dan nggak sampe lima menit, teh kesukaan gue sudah siap!

Untuk sekedar informasi, di café –atau yang sebenarnya lebih cocok disebut kedai teh, menyediakan banyak sekali jenis teh, baik teh Jepang atau jenis teh lainnya. Dan nggak ketinggalan juga, di sini ada berbagai macam jenis makanan ringan sebagai teman minum teh. Ah, gue sangat-sangat rindu tempat ini.

Setelah membayar, gue membawa nampan kecil berisi satu cangkir teh ke arah rak kayu tua terbuka di sebelah counter kasir, yang di dalamnya menggantung banyak kunci keberuntungan. Di balik kunci itu, tertulis angka yang akan mengubah hidupmu.

Oh, satu lagi hal menarik dari café ini. Di mana kamu harus menikmati teh, semua ketentuan ada di tangan kunci keberuntungan.

Tiba-tiba rasanya gue ingin tertawa mengingat kejadian bulan Desember kemarin di café ini.

**

Senin, 1 Desember.

Nasha cewek termuda diantara kami berempat baru berulang tahun ke-14. Dari jauh-jauh hari, cewek berjidat lebar itu udah janji bakal mentraktir gue, Intan, dan Jea di Kiyoshi Teashop, atau kami lebih senang menyebutnya ‘Kafe Kiyoshi’ di dekat sekolah itu.

Pulang sekolah, tanpa ba-bi-bu, kita berempat langsung melesat menuju café. Sampainya di sana, langsung pesan apa aja yang kita mau. Yang bayar Nasha inih.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang