14//Tidak Biasa

1.5K 87 9
                                    


Senin yang nggak biasa.

Tepat setelah Fiza menginjakan kakinya di kelas setelah upacara, Bu Ningsih –yang sudah duduk manis di kursi guru, tersenyum hangat menyambut uluran tangan Fiza yang hendak mencium tangannya. Cewek berambut sebahu itu hanya membalasnya dengan senyuman canggung, nggak biasanya.

Selama pelajaran berlangsung pun, nggak seperti biasanya, keadaan hati Fiza damai. Perasaan was-was yang menghantuinya selama pelajaran Matematika hilang sudah. Digantikan dengan perasaan menikmati pelajaran.

Walaupun kalo boleh jujur, dirinya tetap nggak terlalu konek dengan penjelasan Bu Ningsih.

Selesai pelajaran Matematika, Fiza dan ketiga temannya langsung melesat menuju kantin. Perut mereka sudah merengek untuk segera diisi.

“Fiza!” panggil sebuah suara ketika keempat cewek tersebut hendak kembali ke kelas.

Satu dipanggil, semua nengok. Kebiasaan alami manusia yang mempunyai jiwa kepo.

Tepat di depan mereka, Kak Fayhar yang datang dari arah berlawanan tersenyum lalu menghampiri, “dipanggil Bu Ningsih, sekarang.” Katanya to the point.

Fiza menelan ludahnya, “Ngapain?” tanyanya cepat.

Sebelum kakaknya sempat menjawab, sebuah suara pengacau suasana datang.

“A-aduh,” itu suara ringisan Bintang –yang datang tak diundang bagaikan jelangkung. Entah kapan munculnya, tiba-tiba saja ia sudah berdiri di samping Jea dengan tangan yang penuh makanan.

Jea melirik bete makhluk penganggu di sebelahnya, “Kenapa lo?” katanya acuh.

“Ini, keberatan.” Jawabnya sok kalem.

“Oh.” Lagi-lagi Jea bersikap acuh.

Memperbaiki letak bungkus makanan di tangannya, Bintang kembali melangkah. Namun di langkah pertamanya, Ia hampir saja terjatuh kalau tidak ditahan kak Fayhar.

Jea yang melihatnya udah mencak-mencak dalem hati.

Sementara Fiza, Nasha, dan Intan cuma bisa jadi penonton.

“Hati-hati,” kak Fayhar perhatian.

Bintang tersenyum yang membuat Jea ingin muntah melihatnya, “Tali sepatuku lepas,” kode satu. “Tanganku juga penuh makanan,” kode dua. “Jadinya susah buat ikat tali sepatunya. Mm.. boleh… minta tolong-“ sebelum Ketua OSIS itu melanjutkan kode ketiganya, Kak Fayhar sudah peka duluan.

Cowok berkacamata itu berlutut di hadapan Bintang untuk mengikat tali sepatunya.

Jangankan Jea, ketiga temannya yang lain –terutama Fiza yang notabene adek kandungnya Kak Fayhar, langsung melongo seketika. Kak Fayhar bersikap manis ke seorang cewek selain adeknya Fiza? nggak biasa.

Bintang langsung senyam-senyum salting, melting, grogi gitu. Walaupun nggak dikeluarkan lewat kata-kata, tapi pasti, ia sedang menjerit-jerit histeris di dalam hati.

“Selesai.” Kak Fayhar bangkit dari posisinya dan berdiri tegak sambil tersenyum di hadapan Bintang.

“Makasih, kak.” Bintang menunduk, menyembunyikan pipinya yang bersemu merah. Hanya melihat sekilas pun, pipi Jea juga bersemu merah. Merah menahan amarah maksudnya.

Tiba-tiba Kak Fayhar mengambil alih sebagian bungkus makanan di tangan Bintang. “Biar gue bantu bawain,” Ia melanjutkan, “Fiza, Kakak nggak tau Bu Ningsih ada keperluan apa. Tapi kayaknya penting. Cepet ke kantor sekarang,” katanya sebelum berjalan meninggalkan Fiza dan ketiga temannya.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang