“Isinya apaan nih, Ntan?” Jea yang lebih dulu membuka suara begitu melihat Intan menyodorkan tiga bungkus makanan.
“Donat gula,” Intan tersenyum lebar. “Buat lo bertiga.”
“WAAAH!” Jea dan Nasha langsung berwah-wah ria lalu tanpa ba-bi-bu, mereka melahap donat gula tersebut dengan rakus. Mereka kayak orang yang nggak pernah makan donat gula.
“Lo beli apa mama lo bikin?” tanya gue mengintrogasi. Nggak biasanya gue nggak berwah-wah ria begitu ngeliat donat gula.
“Dikasih,”
Tuhkan.
“Samha shiapha?” Jea lebih dulu bertanya masih sambil mengunyah donat gula di mulutnya.
“Rayhan.”
Gerakan mengunyah Jea dan Nasha terhenti seketika, mereka langsung menatap Intan lekat-lekat. “KOK BISA?” seru mereka berbarengan.
“Kemaren pas di perpustakaan dia kasih gue satu boks isinya donat gula semua. Karena gue inget lo-lo pada suka juga, jadinya gue sisain deh.” Terang Intan. “Padahal pengennya sih ngabisin semuanya sendirian,” gumamnya yang masih terdengar oleh kami bertiga.
“Kok dia tau sih lo suka donat gula?” tanya Jea bingung.
“Katanya sih, dia punya sumber yang terpercaya gitu,” Intan mengedikan bahu, “Ntahlah, gue juga nggak tau.”
Gue yang sedari tadi terdiam sambil memegangi bungkus donat gula yang belum gue buka, langsung bereaksi begitu mendengar penuturan Intan tentang Rayhan. Sumber yang terpercaya-nya itu gue, Ntan.
Gue melirik jendela kelas. Hujan sudah berhenti, yang tersisa tinggal genangan-genangan air dan bau hujan yang menyeruak. Gue rasa sudah waktunya pulang, sebelum hujan kembali turun dan akhirnya gue kebasahan karena lupa membawa payung.
“Gue pulang duluan ya, takut ujan lagi.” pamit gue sambil menggendong tas ransel biru di pundak dan memegang bungkus donat gula di tangan.
“Nggak bareng kak Fayhar?” kalian pasti tau siapa yang bertanya. Siapa lagi kalo bukan Jea.
“Kelas tambahannya sampai sore banget, gue disuruh pulang duluan.”
Mereka mangut-mangut. Gue dengan gerakan cepat langsung berjalan melewati deretan meja kelas menuju pintu. “Gue pulang dulu!”
Terdengar sahutan “ya!” dari dalam kelas.
**
Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari setengah jam yang lalu, tapi karena hujan yang deras, akhirnya gue memilih untuk menunggu hujan reda terlebih dahulu daripada harus kehujanan dan tasnya basah. Lalu buku-buku pelajarannya pun ikut kuyup, dan harus rela tidur lebih larut karena harus menyetrika buku-buku tersebut. Pengalaman pribadi.
Becek-becek sisa hujan menghiasi lapangan. Gue melompat-lompat untuk menghindari genangan tersebut, masih sambil memegang bungkus berisi donat gula pemberian Intan. Begitu sampai tepat di depan gerbang sekolah, gue berhenti sejenak untuk mengigit donat gula. Namun hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi. Satu, dua anak yang masih berada di sekolah langsung kalang kabut mencari tempat teduh, begitu juga gue yang lagi asyik-asyiknya makan donat gula.
Tapi saat gue berbalik, sebuah payung berhasil melindungi gue dari derasnya hujan.
“Haah.. lo buru-buru banget sih? Gue cari-cari ke kelas, ternyata lo udah di gerbang.” Kata Rayhan dengan nafas yang tersenggal. Sepertinya dia habis lari.
Gue mengerjap sambil melongo, nggak yakin sama pemandangan di depan gue ini. Please, jangan tampilin muka cengo lo yang aib banget itu, Fiz.
“Oi,” tangan Rayhan melambai-lambai di depan wajah gue. “Ujannya deres banget, yakin lo mau buru-buru pulang?” sekali lagi Rayhan bertanya.
Gue mengerjap kembali, melebarkan kedua mata gue ini. Setelahnya gue mengangguk. “I-iya lah, tanggung udah sampe gerbang.”
“Ohh,” Rayhan lalu menjulurkan sebuah tas tenteng kecil di tangan kanannya. “Ini, isinya buku Matematika lo. Sama payung,”
“Buku Matematika gue? Jadi selama ini…”
Rayhan terkekeh memotong perkataan gue. “Iya, buku lo nginep di rumah gue. Gue nemu buku lo di perpustakaan minggu lalu, yaa.. akhirnya gue bawa pulang.”
“Kenapa nggak langsung lo balikin?” nada suara gue meninggi.
Cowok di depan gue ini lagi-lagi terkekeh. “Suka-suka gue dong. Masih untung gue balikin sekarang,”
Gue menghembuskan nafas kasar yang bisa terdengar oleh Rayhan walau hujan begitu deras.
“Mau diambil nggak nih?” Rayhan menggoyang-goyangkan tas tenteng di tangannya.
Gue memperhatikan sebentar tas tersebut, lalu akhirnya menerimanya. “Makasih.” Kata gue halus.
Rayhan mengangguk sambil tersenyum. “Gue juga mau bilang makasih,”
“Buat?”
“Itu,” cowok berlesung pipi ini menunjuk bungkus berisi donat gula di tangan gue. “Lo udah kasih tau gue cemilan kesukannya Intan. Semangat dia langsung naik berkali-kali lipat begitu makan donat gula,” katanya sambil tertawa.
Gue tersenyum menanggapinya.
“Yaudah, gue balik ke perpustakaan ya. Takut bu Ningsih ngamuk.” Katanya persis seperti dua hari yang lalu di kantin. “Begitu gue pergi, lo langsung buru-buru buka payungnya. Hati-hati di jalan.” Dia menepuk pundak gue sekilas lalu berbalik meninggalkan gue sambil berjalan dengan terburu-buru.
Gue terdiam sejenak. Begitu menyadari wajah gue mulai dibanjiri air hujan, gue buru-buru mengambil payung di tas tenteng pemberian Rayhan. Membukanya, dan mulai berjalan secara perlahan menuju halte bus.
***
Agak gimanaaa gitu sama part ini, wkwk. Makasih yang udah baca dan vomeent :)
Blqs-
160215.

KAMU SEDANG MEMBACA
Math is My Life
Novela JuvenilSemua bermula dari kebodohan gue di pelajaran Matematika. Dia datang, membawa harapan 'lo pasti bisa keluar dari kebodohan di pelajaran yang membutuhkan banyak rumus itu'. Dan semua berakhir saat gue bisa keluar dari kebodohan itu, tapi terjebak dal...