Hai semuaa! Ini cerita pertamaku yaang udah aku edit abis - abisan (?). Ada lumayan banyak perubahan, semoga kaliaan minat buat baca yaa.
****
Selembar kertas bertuliskan angka '40' dengan tinta merah berhasil membuyarkan lamunan gue. Sontak gue langsung mendongak menatap si pembawa kertas tersebut.
"Di bawah KKM lagi ya?" tanyanya yang lebih cocok terdengar sebagai pernyataan.
Gue mengangguk pelan sambil menatap lemas hasil ulangan harian Matematika di tangan gue.
"Gue yang paling rendah lagi ya?" tanya gue pelan. Rayhan - si pembawa kertas mengangguk sekilas sambil membagikan kertas ulangan ke meja yang lain.
"Dan lo harus remed sendirian-"
"Lagi." gue memotong ucapan Rayhan.
"Dan kata Bu Ningsih, remed kali ini kesempatan terakhir kalo lo mau naik kelas,"
Gue menghembuskan nafas kasar. Apa pelajaran Matematika doang yang nentuin gue naik kelas atau nggak? Jadi percuma aja kalau selama ini gue mati - matian hafalin pelajaran sejarah, toh yang nentuin naik kelas atau nggaknya cuma pelajaran Matematika.
Mata gue mengikuti pergerakan Rayhan yang masih membagikan hasil ulangan harian Matematika. "Apa yang harus gue kerjain supaya bisa naik kelas?" tanya gue datar.
Rayhan menatap gue sekilas, lalu menyerahkan selembar kertas kecil dari saku seragamnya, "Ini tugas yang harus lo kerjain."
Gue membaca isi kertas tersebut. Kalau di hitung, tugas remed kali ini ada 50 nomor. Yang artinya, dua kali lipat lebih banyak dari soal ulangan harian sebelumnya.
"Terakhir dikumpulin Senin depan, istirahat kedua. Telat sedikit, Bu Ningsih nggak mau terima." Kata Rayhan yang sudah kembali ke tempat duduknya, dua meja disebelah kanan dari tempat duduk gue.
Gue menghela nafas panjang. Untuk kedua kalinya, gue kembali menatap angka '40' yang (kayaknya) sengaja ditulis besar - besar oleh Bu Ningsih. Dan tanpa sadar, tangan gue langsung menjambak - jambak rambut frustasi.
"Fiz? Lo nggak apa - apa?" tanya sebuah suara lembut yang langsung membuat gue berhenti melakukan kegiatan gila ini. Gue mendongak menatap si pemilik suara, Jea dan Nasha yang berdiri disebelahnya.
"Nggak tau deh Je kesehatan jiwa gue sekarang gimana. Gue frustasi sama Mtkk!!" seru gue setengah berteriak. Untung udah jam istirahat, jadi cuma beberapa pasang mata aja yang menatap gue horror.
Jea menghela nafasnya, lalu duduk di tempatnya, sebelah gue. Begitu juga Nasha yang duduk di tempatnya, di depan gue.
"Yaudah sekarang lo minum ini dulu, untuk mendinginkan otak lo yang kepanasan." Kata Nasha dengan cengiran lebarnya, lalu menyerahkan segelas Pop Ice rasa coklat untuk gue.
Gue langsung menyambar gelas Pop Ice di tangan Nasha dengan mata berbinar - binar. "Makasiiih Nashaaaa," kata gue dengan senyuman lebar.
"Emang lo kena remed lagi?" tanya Jea sambil melahap bekal yang dibawanya.
Gue mengangguk pelan sambil menggigit - gigit ujung sedotan. Jea dan Nasha hanya menggeleng prihatin.
"Dan nilai gue terendah lagi di kelas." kata gue pelan.
Nasha menghembuskan nafasnya, "Lo harus berubah Fiz! Berubah!" Nasha berseru dengan tangan mengepal di udara.
"Iya Fiz, Mulai sekarang lo harus mulai belajar 'jatuh cinta' sama Mtk," tambah Jea dengan senyum menyeringainya.
Gue mengerutkan kening mendengar ucapan Jea. Jatuh cinta sama Matematika? Nggak akan!
"Nggak bisa. Gue nggak ada rasa sama Mtk Je."
KAMU SEDANG MEMBACA
Math is My Life
Fiksi RemajaSemua bermula dari kebodohan gue di pelajaran Matematika. Dia datang, membawa harapan 'lo pasti bisa keluar dari kebodohan di pelajaran yang membutuhkan banyak rumus itu'. Dan semua berakhir saat gue bisa keluar dari kebodohan itu, tapi terjebak dal...