-Fiza
Gue mengendap-ngendap bagaikan maling di malam hari. Bedanya sekarang pagi hari, dan gue nggak berniat untuk maling kelas gue sendiri.
Dari luar jendela, kelas gue tampak gelap dan sepi. Gue menangkupkan wajah dan menempelkannya ke kaca jendela. Mengintip, mencari tanda-tanda kehidupan di dalam kelas sana. Hasilnya nihil, dan itu berarti untuk kedua kalinya gue berhasil memecahkan rekor sebagai pembuka pintu kelas-nya Zalfa.
Gue memperhatikan pantulan diri gue di kaca jendela sambil merapikan rambut sebelum masuk ke dalam kelas. Rambut sebahu gue yang digerai sudah cukup rapi. Oke, mari kita buka pintu kelas!
Begitu masuk, gue langsung menyalakan lampu dan menyimpan tas di kursi. Gue menatap sekeliling kelas. Kotor. Petugas piket hari Kamis pasti nggak piket, dan yang kena getahnya malah petugas piket hari Jum’at, kasian. Dengan inisiatif diri sendiri, gue berjalan menuju lemari penyimpan alat kebersihan di pojok kelas.
Namun seketika mata gue melotot dan rasanya hampir mau keluar. Refleks gue menjerit, “AAAAA!” jeritan gue cukup kencang untuk membangunkan seseorang. Tapi, orang di depan gue ini sama sekali nggak terganggu. Ternyata ada yang lebih kebo dari gue.
Gue mengatur nafas sambil menyeka keringat yang mendadak keluar akibat kaget. Setelah merasa cukup tenang, gue berjalan perlahan mendekati sesosok makhluk –gue harap manusia, yang duduk di lantai pojokan kelas, dengan posisi kepala tertunduk.
Berfikir positif, mungkin dia tidur.
Gue berlutut sambil menatapnya lama. Ternyata dia memegang sebuah buku, dan judul bukunya adalah ‘Kumpulan Latihan Soal Matematika’.
Selain Intan, siapa lagi coba yang minat bawa-bawa buku kayak gini kalo bukan, Rayhan?
“Ray? Rayhan?” panggil gue pelan, berusaha membangunkannya.
Nggak ada pergerakan.Gue mengguncang pelan pundaknya. Nggak ada respon juga.
Dengan keberanian yang tinggi, gue menarik rambutnya yang berantakan. “Rayhaaan!” seru gue tertahan.
Berhasil, Rayhan bergerak.
Ia mengangkat kepalanya dengan muka orang bangun tidur banget. Matanya masih setengah terbuka, tapi begitu melihat gue, Rayhan langsung mengerjap-ngerjap matanya untuk memfokuskan penglihatan.
“Fiza? Ngapain lo di sini?” tanya Rayhan linglung dengan suaranya yang serak.
“Harusnya gue yang nanya, lo ngapain pagi-pagi udah tiduran di pojok kelas?”
Rayhan menegakkan duduknya sambil mengusap mata, “Gue.. belajar.”
“Belajar?” ulang gue.
Rayhan mengangguk, “Seminggu terakhir ini gue sengaja dateng pagi banget supaya dapet ketenangan di kelas,” ia memberi jeda. “Saking tenangnya, gue sampe ketiduran.”
Gue menggeleng prihatin sambil berkata, “entah ini keberapa kalinya gue ngomong sama lo,” Rayhan menunggu kelanjutan perkataan gue. “Susah ya jadi orang pinter.” kata gue berlebihan, setelahnya gue berdiri.
Rayhan tertawa. Ia mengacak rambutnya sebentar, “Entah ini keberapa kalinya gue ngomong sama lo,” ia berdiri dan menatap gue, “Susah ya jadi orang bego yang bisanya nyusahin banyak orang.” sindir Rayhan dengan seringaian mengejeknya. Lalu berjalan begitu saja melewati gue.
Gue mematung di tempat. Sebelum kekesalan gue meledak, gue buru-buru mengontrol diri, “Gue mau bersihin kelas.”
**
“Gue yang jadwal piket hari ini aja nggak ada niatan buat piket.” Komentar Rayhan dari tempat duduknya sambil membaca sebuah novel.
Oh, gue baru liat sisi pemalesnya Rayhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Math is My Life
Novela JuvenilSemua bermula dari kebodohan gue di pelajaran Matematika. Dia datang, membawa harapan 'lo pasti bisa keluar dari kebodohan di pelajaran yang membutuhkan banyak rumus itu'. Dan semua berakhir saat gue bisa keluar dari kebodohan itu, tapi terjebak dal...