11//Dimulai

2.1K 95 11
                                    

Jarum jam panjang tinggal beberapa langkah lagi menuju angka dua, tapi seperti biasa, bu Lina –guru IPS masih berkata,

“Masih ada sisa waktu lima menit. Untuk menunggu bel pulang bunyi, silahkan kerjakan tugas yang ibu berikan,”

Seisi kelas kompak menghela nafas nggak rela. Bahkan Irham yang nggak tau malu itu, terang-terangan menguap sampai amandelnya keliatan. Bu Lina yang mempunyai kepekaan tinggi langsung berkata –lebih cocok dibilang ceramah sih,

“Kalian tuh ya, seneng banget nunda-nunda pekerjaan,”

Apa ibu nggak liat tampang-tampang 5L campur muka berminyak kami yang nggak banget ini?

“Anak-anak, ibu ingatkan sekali lagi, jangan meremehkan pekerjaan dan jangan membuang-buang waktu yang ada. Ingat, time is money. Gunakan setiap detik hidupmu dengan kegiatan yang berguna, agar tidak menyesal di kemudian hari.”

Kadang, gue dan temen-temen lainnya suka nggak yakin kalo bu Lina ini guru IPS, abis lebih pas jadi guru Bahasa Indonesia sih. kata-katanya ituloh, Mario Teguh banget.

“Pokoknya ibu ingatkan sekali lagi, jangan meremeh-“

Kring! Kring! Kriiiing!

“YEEEEE!” kelas heboh seketika. Ceramah bu Lina tenggelam begitu aja diantara sorakan heboh kami sekelas.

Satu banding tiga puluh enam, kalah telak.

“Astaga, itu musik terindah yang pernah berbunyi!”

“Merdunyaaa, sampe terharu gue,”

“Terima kasih bel pulang! Kau sudah menjadi penyelamat hidup kami!”

Teman-teman gue bisa mendadak puitis campur lebay kalau udah denger bel bunyi.

Tapi yah, tanpa yang lain sadari, di depan kelas sana, bu Lina malah tersenyum geli mendengar celetukan temen-temen gue yang padahal sih –secara nggak langsung mereka menyindir mapel bu Lina yang ngebetein dan bikin pengen cepet-cepet pulang.

Gue jadi ikut-ikutan senyum ngeliatnya.

“Mikirin apa lo senyum-senyum sendiri gitu?” suara mengintrogasi campur isengnya Jea melunturkan senyum gue.

“Adanya lo yang mikir macem-macem,” tuduh gue balik, lalu mulai memasukan alat tulis dan buku ke dalam tas.

Jea menyipitkan matanya, memandang gue penuh selidik, “Gue nggak mikir kalo lo mikir yang macem-macem, tapi lo malah mikir kalo gue mikirin yang macem-macem tentang sesuatu yang lo fikir. Berarti itu tandanya lo yang mikir macem-macem,” Jea mulai belibet.

“Belajar aja dulu B.Indo yang bener, baru ceramahin gue.” kata gue datar, tapi menusuk.

Jea memutar bola matanya, lalu berkata, “belajar aja dulu Matematika yang bener, baru nyuruh gue belajar B.Indo yang bener.”

Gue langsung menatap Jea dengan tanda tanya, kok lo ngebalikin yang gue omongin mulu sih?

Seolah mengerti dengan tatapan gue, Jea membalas menatap gue dengan ekspresi, suka-suka gue dong. Lalu dia menjulurkan lidahnya.

Gue nggak ngerti kenapa Jea mendadak ngajak ribut gini.

“Lo berdua kenapa sih?” suara Intan mengakhiri perdebatan batin gue dan Jea.

Di depan kami, Nasha dan Intan memandang gue dan Jea aneh.

“Biasalah, kita berdua lagi telepatian.” jawab gue sambil cengengesan, begitu juga Jea.

“Aneh lo bedua.” Nasha mencibir, mereka berdua pun kembali menghadap ke depan.

“Memberi salam!” Rayhan tiba-tiba memberi aba-aba.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang