Berguling di atas kasur, menatap langit-langit kamar, sambil cekikikan sendiri. Pipi memerah tanpa sebab, perut mendadak mulas seketika.
Penyebabnya cuma satu, kejadian tadi siang.
Ups, ketauan deh. Oke, gue nggak bisa bohongin perasaan lagi mulai sekarang. Dari awal, gue bertekad untuk mulai jatuh cinta dengan Matematika. Tapi nyatanya, pesona guru Matematikanya lah yang lebih kuat menarik gue untuk jatuh.
Hanya karena sebuah es krim cup, harapan gue jadi semakin melambung tinggi. Semakin berharap yang iya-iya.
Gue menggetok kepala sendiri. Mikir apa sih, Fizz.
Daripada berkutat dengan fikiran gue yang aneh ini, lebih baik gue mengunjungi –lebih tepatnya mengacaukan– kamar kakak tersayang gue satu-satunya, kak Fayhar.
“Kaaaak?” panggil gue semanis mungkin sambil menyembulkan kepala dari balik pintu kamar.
Kak Fayhar mengubah posisinya menjadi terlentang, menatap gue, “Apaan?” suaranya terdengar lelah.
Gue nyengir gak jelas, lalu main masuk aja tanpa persetujuan sang pemilik. Setelah menutup pintu, gue duduk di tepi kasur –tepatnya di sebelah kaki kak Fayhar.
“Mau ngapain?” nada suaranya terdengar jutek persis tadi pagi.
Gue merebahkan diri di sebelah kak Fayhar, “Jutek banget,”
“Baper banget.”
“Ish,” gue mendesis.
Hening beberapa saat, sampai sebuah suara muncul.
Ping!
Nggak sengaja, gue berhasil melihat nama kontak BBM yang tertera di ponsel kakak gue ini.
Mine.
Curi-curi pandang, gue berhasil membaca isi pesan kak Mine itu.
Plis ya, Fay?
Hmm. Gue melirik kak Fayhar dan ponselnya bergantian. Dilihat dari isi pesannya, kak Mine seperti sedang memohon-mohon sesuatu dari kak Fayhar.
Yodahlah, gue setuju. Dgn terpaksa, gue mau jadi-
“Ehh ngintip-ngintip, kepoo.” kak Fayhar langsung berguling menjauhi gue.
Gue mendengus kesal. Ngomong-ngomong, kak Fayhar mau jadi apanya kak Mine? Jangan-jangan … pacar?! Waahh, diem-diem kakak gue ini menghanyutkan.
Tapi kok, dengan terpaksa?
Mendadak, gue mengingat kejadian tadi siang.
“Ohh jadi gitu ya, Kak. Jadi ini alesannya, kenapa tadi pagi Kakak mendadak perhatian sama si Bintang itu?” semprot gue seketika.
Kak Fayhar mengalihkan pandangannya dari ponsel, menatap gue dengan penuh tanda tanya, “Apa hubungannya?”
“Ya ada lah,” gue merubah posisi menjadi duduk. “Jadi gini, Kak Fayhar sengaja manas-manasin Jea tadi pagi dengan cara sok peduli sama si Bintang. Setelah ini giliran Bintang yang bakal dipanas-panasin dengan tokoh ceweknya Kak Mine. Dengan begitu Jea dan Bintang patah hati, lalu hidup kak Fayhar pun bakal tenang karena nggak dikejar-kejar fans fanatik kayak mereka lagi,” senyum bangga terbit di bibir gue.
Kak Fayhar terdiam sejenak, mencerna perkataan gue –yang menurut gue sendiri itu jenius–, sepersekian detik berikutnya tawa kakak gue ini meledak. “Bukannya IQ Fiza waktu itu di bawah 110, ya?” katanya di sela-sela tawa. “Tapi kok, logikanya bagus banget?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Math is My Life
Подростковая литератураSemua bermula dari kebodohan gue di pelajaran Matematika. Dia datang, membawa harapan 'lo pasti bisa keluar dari kebodohan di pelajaran yang membutuhkan banyak rumus itu'. Dan semua berakhir saat gue bisa keluar dari kebodohan itu, tapi terjebak dal...