24//Gagal Move On?

965 75 17
                                    


“Mereka berdua kayaknya udah resmi deh,”

Resmi? Fiza menyetujui perkataan Jea dalam hati, walaupun terasa berat. Matanya menatap kosong jauh ke depan, mengabaikan obrolan Jea dan Nasha yang berjalan mengapit di kedua sisinya.

“Tuh kan! Kalo beneran itu terjadi, berarti tebakan gue bener! Gilaa, Rayhan garcep banget,”  Nasha menimpali dengan heboh.

Fiza masih setia bergeming.

“Tapi … gue sebel deh, kenapa Intan pake segala rahasia-rahasian sama kita? Harusnya ‘kan, kita yang dikasih lebih dulu,” ucap Jea.

“Mungkin Intan nggak mau nyakitin gue,” jawab Fiza dalam hati. “Ah, geer amat. Kalo dia nggak mau nyakitin gue, harusnya dia nggak usah terim- ah udahlah.” Fiza perang dengan batinnya sendiri.

Kedua temannya masih terus membicarakan Intan dan Rayhan. Sementara Fiza masih tetap bergeming, dengan ingatan yang terus terlempar ke kejadian saat jam terakhir tadi.

Saat jam terakhir tadi –tepatnya sebelum pulang sekolah, Intan dan Rayhan yang baru aja meraih juara satu lomba Matematika kemarin, tiba-tiba maju ke depan kelas untuk menyampaikan sesuatu. Seisi kelas langsung teralihkan pandangannya ke mereka berdua, termasuk Fiza. Nggak ada yang aneh sebenarnya, tapi ada hal yang cukup mengganjal sekaligus membuat seisi kelas bertanya-tanya ketika Intan berkata,

“Kamu aja deh yang ngomong, aku bingung pembukaannya apa.”

Kalau di pelajaran Bahasa Indonesia, kalimat itu memang nggak ada yang aneh. Tapi kalo untuk seluruh penghuni kelas yang masih ABG semua, jelas kalimat tersebut rada-rada aneh. Keanehannya terletak di kata ganti orang pertama dan kedua yang kenapa mesti aku dan kamu?

“WADOH UDAH AKU-KAMUAN LOHH,”

“CIE CINTA BERSEMI DI MAPEL MTK!”

“TOLONG DIKONFIRMASI KENAPA JADI AKU-KAMUAN GINI?!”

Dan berbagai seruan lainnya yang tumpah tindih dari seisi kelas.

Yang dicecar justru cuma nyengir-nyengir sambil mengelak, “Apasih, salah denger kalii.” –dengan nada bercanda.

Hal itu jelas membuat Jea, Nasha, terutama Fiza terbengong-bengong. Bahkan mereka bertiga nggak bersuara sama sekali sampai Intan kembali ke tempat duduk setelah selesai memberi tahu bahwa besok, seluruh penghuni kelas diundang untuk makan siang di restoran kecil dekat sekolah mereka dalam rangka Pajak Ultah-nya Intan dan Pajak Menang-nya mereka. Mungkin sekaligus sama PJ juga.

Fiza menghela nafasnya setelah mengingat kejadian itu. Walaupun fikirannya melayang-layang, namun telinganya masih bisa mendengar obrolan Jea dan Nasha yang masih membahas Intan.

“Ehem,” Fiza berdehem, berusaha menyadarkan kedua temannya kalo dirinya ada di situ dan plis, jangan bahas itu mulu. “Mau ditraktir apa nanti?” ucapnya berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya!” Nasha yang duluan sadar. “Taiyaki Ice Cream dong, Fiz! Boleh kan?”

Jea mengangguk menyetujui.

“Gue nggak mau beliin itu. Yang lain,”

Bahu Jea dan Nasha langsung terkulai lemas. Mereka berdua kompak cemberut.

“Oke. Gue dan Nasha menerima dengan berat hati,” ucap Jea setengah hati. “tapi kalo Mochi Ice Cream boleh, kan?”

Fiza tersenyum tipis. “Apa aja selain Taiyaki,”

Jea dan Nasha langsung ber-high five bahagia.

**

Mereka bertiga keluar dari café Kiyoshi dengan sumringah. Tiga es krim Mochi berwarna-warni yang ditusuk seperti sate ada di genggaman. Fiza yang melihat kedua temannya bahagia, ikut-ikutan tertawa.

Math is My LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang