MIYAKO, perempuan ini sedikit menarik perhatianku. Rasanya kami bagaikan satu tubuh, bisa saling merasakan dan berbagi. Aku tidak terlalu mengerti tentang pertemanan dan segala pertanyaan masih ada di dalam kepalaku. Manusia memang sudah memecahkan banyak sekali pertanyaan, namun satu-satunya yang tidak terpecahkan adalah bagaimana cara hidup sebagai manusia.
Hari-hari berikutnya aku berusaha fokus pada tulisanku. Namun, aku selalu saja dilanda keputusasaan setiap kali menulis. Ruang lingkup yang aku tulis masih terlalu sempit. Misalnya, jika aku menulis tentang anjing peliharaan, aku tidak bisa menulis apapun tentang tempat tinggalnya, pemiliknya atau apapun itu. Kurang lebih seperti itulah masalah yang aku hadapi.
Dilema itu benar-benar membuat langkahku berhenti. Dalam waktu yang cukup lama. Namun, semakin waktu berjalan, keadaannya sama saja, aku tetap tidak bisa menulis dengan baik. Tapi, selama aku masih punya niatan untuk terus belajar dan berkembang, aku tidak terlalu bermasalah dengan itu.
Itu hanya satu dari segala permasalahan yang aku hadapi. Tapi, belum ada yang terpecahkan sama sekali, dan mungkin akan tetap sama seterusnya –aku tidak tahu. Alhasil, menulis bukanlah satu-satunya tempat aku melarikan diri. Aku mulai mencari pelampiasan lainnya, belajar dan mencoba hal lainnya. Namun, tidak lebih dari sekedar percobaan-percobaan kecil dalam upaya pelarianku.
Menulis adalah pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Walaupun demikian, bagiku menulis kalimat adalah sesuatu yang menyakitkan. Aku pernah tidak menulis satu bulan, terkadang satu minggu, bahkan pernah menulis selama dua hari dua malam berturut-turut, namun semua kalimat itu hanyalah sampah. Hal yang paling sulit dalam menulis kalimat menurutku, adalah dimana kita harus membumbui tiap kalimat agar terasa hidup, lebih hidup dari kehidupan itu sendiri.
Aku meminum secangkir kopi dengan sedikit gula. Masih menggunakan piyama dan telanjang dibagian bawah. Sambil melihat pemandangan keluar apartemen lusuh ini, kehidupan masih tetap berjalan dengan normal, aku membatin kalimat itu, seperti bersyukur karena dunia ini masih belum hancur, dan aku masih bisa berusaha untuk menulis.
Pemandangan diluar tidak terlalu indah, namun lumayan menarik. Kedai-kedai tradisional masih ada disekeliling apartemen ini, masih terbuat dari kayu yang disusun dengan sangat rapi dan terlihat mewah walaupun sangat sederhana. Kaca apartemenku menghadap ke arah barat, jadi aku tidak bisa melihat matahari terbit, namun apa yang kudapat tidak kalah indahnya garis orange yang menyelimuti daerah bagian barat dengan wana tipis dan tinggi menghiasi langit biru bersih. Aku selalu suka pemandangan seperti ini. Aku suka, karena ketika melihatnya, aku merasa hidup.
Aku memiliki jadwal untuk bertemu dengan seorang editor dari sebuah penerbit. Dia orang yang merepotkan, namun di sisi lain, dia sangat membantuku dalam menulis. Dikarenakan kisah yang aku angkat adalah kejadian fakta, maka aku tidak perlu banyak berimajinasi, cukup mengungkapkan sebuah fakta. Kelihatannya tidak sulit, namun menceritakan sesuatu secara jujur itulah yang sangat sulit. Semakin aku berusaha untuk menulis secara jujur, semua kata-kata ku hilang bagai ditelan sebuah kegelapan. Bukan bermaksud berdalih, namun itulah yang aku rasakan. Aku selalu berharap aku bisa menulis dengan baik, dengan bumbu yang hidup dan dipahami dengan mudah. Berharap di masa depan akan terbentuk diriku yang telah terselamatkan, dan bisa menulis tentang taman yang indah, rumah yang megah dan makanan yang enak untuk anjing itu. Dan mungkin aku bisa bercerita dengan luas tentang dunia dengan kata-kata yang sangat indah.
Aku berangkat menuju tempat yang sudah direncakan. Sebuah kafe kecil namun elegan dengan nama 'Deja Vu'. Aneh memang. Aku tidak tahu mengapa dinamakan seperti itu. Mungkin karena desainnya yang tidak punya ciri khas, jadi semua yang masuk kesana merasa pernah mengunjungi sebuah tempat yang sama sebelumnya. Aku berangkat sendirian dari apartemenku. Di Stasiun perhentian pertama, ada pasangan ibu dan anak-anak yang naik ke gerbong kereta dan duduk tepat di depanku. Ibu yang berpenampilan rapi dan anak perempuan kecil. Namun, anak itu terlihat menderita. Tidak merasakan kesenangan saat duduk di kereta. Dia hanya menatap lantai-lantai sambil memainkan jari-jarinya yang mungil, lalu melihat jari-jari itu secara berurutan. Sepertinya, dia tidak akan berhenti sebelum mengecek kesepuluh jarinya dan memastikan mereka masih ada disana. Pakaian pasangan ibu dan anak ini tidak terlihat mewah, namun bagus. Tampak bersih dan terawat dengan baik. Bagian putihnya sama sekali tidak ada noda, bersih dan tetap putih seperti itu dan disetrika dengan rapi. Anak perempuan itu mungkin masih kelas 2 atau 3 SD. Memakai pakaian berwarna hijau dan ada gambar sepeda di pojok kiri dadanya, dengan rok selutut yang berwarna khaki dan rambut yang digerai. Tampak cantik. Namun, wajahnya benar-benar seperti meminta tolong. Dia juga membawa sebuah totebag dan dia bawa dengan kedua tangannya. Sepertinya, tas itu gemuk akan banyak barang bawaan. Ibunya berwajah rupawan dengan senyum yang manis. Dia sedang melihat sebuah selebaran dan mencoreti sesuatu. Namun jika aku perhatikan, disana ada nama-nama orang dan alamat mereka. Dicoretnya satu persatu, mungkin untuk menandai sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku dan Manusia
General Fiction"Cukup satu kesalahan, itu akan membuatmu menderita." Lahir di kota yang sakit, dengan segala situasi yang sakit. Mencari apa itu kebahagiaan, dan menghindari segala kepura-puraan. Semesta kecil seorang wanita, yang dirundung kenangan dan masa lalu...