SETELAH membicarakan beberapa hal berat seakan befilsafat, Miyako segera pulang. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu, sesuatu yang berat, mengganjal dalam hati dan pikirannya. Dia berusaha lepas dari sesuatu itu seperti singa sirkus yang berkeliling kandang mencari celah, namun tidak ada celah disana. Yang bisa dia lakukan adalah tetap di kandang itu sambil menunggu pawangnya mengeluarkannya untuk perhatian banyak orang, atau mendekap tanpa harapan di balik jeruji itu. Miyako tidak memilih keduanya –lebih tepatnya, dia menggabungkan keduanya. Dia tetap berada dalam sebuah jeruji, namun pandangan dan rencananya mempersiapkan sebuah tontonan menarik, tontonan yang ditunggu banyak orang.
Aku segera pulang sekitar 20 menit setelah Miyako, memandang seluruh bar dan kucing abu-abu yang bangun karena gangguan sapu penjaga bar. Naik kereta yang cukup ramai oleh orang-orang yang pulang lembur dan kepayahan bekerja seharian. Termasuk seorang pelajar yang menduduki kursi prioritas entah apa alasannya. Kemudian muncul kembali dibenakku tentang kesetaraan yang dibicarakan Miyako. Apakah ini termasuk setara antara anak muda dan orang tua? Cacat dan tidak cacat? Kalau begitu, kursi priotitas tidak dibutuhkan –seharusnya begitu. Mungkin moralitas diperlukan disini, namun beberapa orang tidak mau repot-repot berdiri lama untuk orang lain. Jika memang ada yang seperti itu, maka dia seperti dewi, sedangkan mereka yang tetap duduk tetaplah manusia. Dalam hal seperti itu, antara anak muda dan orang tua yang ingin tempat duduk, aku tidak bisa memihak salah satu. Kewajiban dalam memberikan kursi adalah permasalahan moral, begitu permasalahan moral selesai, permasalahan seperti ini selesai. Logika tidak diperlukan dalam masalah seperti ini, namun hanya moral saja, itu juga merepotkan. Beberapa dalih yang digunakan kebanyakan orang tua adalah semacam pelayanan pada masyarakat, atau sebagai bentuk kontribusi dalam masyarakat. Namun dalam hal ini, kontribusi tentu tidak hanya memberikan sebuah kursi kepada yang lebih tua lantas dianggap 'lulus'. Kesetaraan memang tidak akan pernah terwujud selama masih ada moralitas.
Beberapa orang lebih memilih menjadi manusia bebas, menulis dengan bebas, bertindak, bahkan berpikir secara bebas. Bebas dalam artian meninggalkan fisik, melayang tanpa batas dan pengekang, memberi jiwa alami pada pikiran. Aku rasa itulah arti kebebasan berpikir. Memang terdengar rumit, namun beberapa orang melakukan hal seperti ini tanpa sadar sembari melakukan sesuatu, atau memang sengaja melakukannya. Namun sebebas apapun pikiran itu, mereka selalu membentuk sebuah koordinat yang sama pada setiap manusia yang melayang, tak ada orisinalitas dalam pikiran. Setiap pemikiran selalu ada pendahulunya, hampir tak ada sesuatu yang baru di dunia ini. Orisinalitas tak lain hanyalah peniruan yang bijaksana.
Lagi-lagi aku fokus pada lamunanku sendiri, menanggalkan realita dan memasuki dunia bayangan. Mungkin beberapa lamunanku dapat aku jadikan sebuah karya sastra yang lumayan menarik. Bukan bermaksud sombong, namun aku sangat sering melamun memikirkan hal-hal tidak berguna. Aku sampai di apartemenku dan langsung merebahkan diri di kasur. Merasa ada beberapa hal ganjil belakangan ini. Bukan sesuatu yang terlalu menarik, namun mimpi dari Miyako seakan-akan menunjukkan sesuatu. Sesuatu yang dalam mulai dipancing keluar. Entah kenapa aku merasa akan mengalami sesuatu yang aneh, sebuah perjalanan akan dimulai. Namun, perjalanan apa? Aku sudah sedikit pusing memikirkan naskah yang harus segera aku selesaikan dalam penilaian sayembara, mimpi Miyako yang sedikit mengganjalku, dan sekarang sebuah perasaan aneh mulai mengganjal. Aku langsung menepis semua ingatan itu, tubuhku perlu sedikit istirahat, mengingat permasalahan itu saja sudah membuatku kelelahan. Aku tertidur dalam waktu singkat, tidur yang lelap dan dalam, seperti sebuah perpindahan alam, dari dunia nyata menuju kegelapan. Kegelapan yang pekat, tak ada cahaya. Tak ada kebenaran ataupun kesalahan, pahala ataupun dosa. Yang ada hanya kegelapan. Mimpi? Rasanya hanya setengah kebenaran. Seperti sebuah penyesalan yang dimasukkan dalam mimpi, sebuah kejanggalan yang di gabungkan dalam dunia mimpi, sebuah keinginan dan penebusan. Apakah dunia seperti ini memang ada? Jika ada maka itu dunia yang menyenangkan. Karena dunia seperti ini hampir sama dengan dunia nyata, tak ada kebenaran dan kesalahan secara jelas, semua abu-abu. Tak ada logika dan moral secara jelas, semuanya rancu. Itulah perbedaan kedua dunia ini. Dan aku rasa aku mulai menyukai dunia dengan latar kegelapan ini. Oh, aku berharap ada latar lagu Elvis Presley disini. Namun ditengah kebimbangan itu, aku melihat sesuatu –lebih tepatnya seseorang. Diatas kursi roda, mengenakan pakaian putih dengan wajah pucat dan tersenyum. Rambutnya panjang dan indah, melihat sesuatu dalam kegelapan, seperti menyaksikan sesuatu yang menarik. Tak salah lagi, aku tak akan melupakan senyuman itu seumur hidupku, seandainya ingatanku diambil keseluruhan dan aku melupakan diriku sendiri, aku tak akan lupa senyuman itu. Senyuman yang sudah lama tidak aku lihat dan selalu aku harapkan. Mengapa ibuku ada disini? Mengapa berada dalam kegelapan? Penyesalan? Apakah ada sebuah penyesalan? Aku meneteskan air mata dan berlari menuju wanita itu, tapi semakin aku berlari, semakin menjauh. Sesuatu yang tidak bisa aku capai sendirian, dengan apa yang aku miliki, aku tidak akan bisa menggapainya. Mereka yang memiliki penyesalan tak akan pernah bisa melewati kegelapan. Hanya cahaya yang bisa melewatinya dan bertahan didalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku dan Manusia
General Fiction"Cukup satu kesalahan, itu akan membuatmu menderita." Lahir di kota yang sakit, dengan segala situasi yang sakit. Mencari apa itu kebahagiaan, dan menghindari segala kepura-puraan. Semesta kecil seorang wanita, yang dirundung kenangan dan masa lalu...