40. Tertanda, Seseorang Yang Mengharap Pengampunan

6 3 0
                                    

MALAM itu aku berada di rumah Miyako hingga kereta terakhir. Bahkan aku sampai tidak ingat apa yang kami bicarakan selepas memandang langit orange keunguan itu. Mungkin saja sebuah hal penting ataupun sesuatu yang tidak sengaja aku lewatkan. Malam itu rasanya saat pulang, diriku diliputi perasaan sesal. Tiba-tiba terasa olehku bagaimana ketiadaan bulan bisa mempengaruhi psikologisku hingga seperti ini. Rasanya ada sebuah energi positif yang diberikan bulan pada tiap malam, mirip seperti sebuah ketenangan. Dewa Tsukuyomi mungkin saja sedang berdebat dengan Amaterasu di alam lain, menyebabkan dia tidak bisa menampakkan dirinya di langit malam yang indah. Tapi apakah itu berarti sebuah kehilangan?

Mungkin sekitar tiga hari setelah aku bertemu Miyako, aku membereskan tas-tas ku yang pernah kubawa saat ke rumah Fumioka, rumah kecil yang meninggalkan sebuah perasaan ganjil padaku. Tas merah yang mungkin sudah bertahun-tahun ini sering kubawa kemana-mana, bukan tas besar, hanya tas kecil yang diselempangkan pada pundak dengan resleting yang sudah kuperbaiki berkali-kali. Kadang terpikir olehku mungkin sebaiknya aku harus membuang tas ini dan membeli tas yang lebih baik lagi untuk gadis muda, karena warna merah ini memberikan kesan suram pada tasku yang sudah sangat tua. Tapi entah kenapa, saat musim panas, warna merah suram ini benar-benar menyatu dengan langit biru musim panas. Aku tidak tahu apakah saat ibuku membuatkan tas ini untukku dia berpikir bahwa warna merah yang terlihat suram ini sangat cocok dengan langit musim panas.

Waktu itulah aku menemukan sebuah surat, surat dengan kertas yang sudah sangat buruk dan ada bercak kekuningan di banyak tempat –mungkin hampir keseluruhan kertas itu sudah berwarna kuning. Tidak ada amplop ataupun pesan. Hanya kertas lama berjumlah 3 lembar yang berisikan sebuah tulisan tangan yang cukup buruk dengan tinta yang jauh lebih buruk. Di beberapa tempat, tinta itu bahkan menciptakan sebuah sungai kecil yang melintang dan menutupi beberapa kata.

Surat wasiat.

Aku tidak tahu darimana surat ini berasal, tapi melihat awalan kalimat, 'ada banyak hal yang harus kukatakan ...' benar-benar memukulku. Ada seseorang yang secara iseng atau memang sengaja memasukkan surat ini ke dalam tasku. Jika orang itu iseng, untuk apa? Kertas lama semacam ini tidak mudah ditemukan karena menjadi koleksi vintage mereka yang menyukai fotografi ataupun mengoleksinya saja. Sedangkan jika sengaja, kenapa aku?

Satu-satunya jawaban yang kutemukan, karena mungkin aku berada di tempat dan waktu yang salah.

Lama aku membaca surat itu untuk memahami isinya. Aku mengerti, benar-benar mengerti tentang siapa penulis surat ini. Walaupun aku tidak pernah bertemu, kisahnya adalah sesuatu yang menempel pada pikiranku beberapa hari ini.

Di sini akan kutuliskan surat itu dengan bahasaku sendiri, karena aku sudah mengembalikan surat itu pada mereka. Mungkin seharusnya aku tidak membacanya waktu itu. Tapi mungkin saja seseorang memang menginginkanku mengetahuinya.

"Ada banyak hal yang harus kukatakan, tapi aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Darimana keberkahan itu? Mungkin itu adalah sesuatu yang disebut dengan keberuntungan. Mungkin saja aku menerimanya karena aku tidak sengaja ada di sana pada waktu itu, padahal aku tidak pantas melihat berkah setinggi itu. Dari dalam hatiku aku menginginkan melihatnya kembali, tapi berkah dan umur manusia adalah dua hal yang berbeda. Aku ingin menuliskan, bahwa pada kehidupan yang singkat ini, aku menemui sebuah hal yang hanya diketahui segelintir orang saja.

Waktu itu rasanya benar-benar menyiksa. Aku kelaparan dan hanya ada rumput di sana sini. Naluri hewaniku memberikan respon bahwa ini harus dimakan demi bertahan hidup. Tapi bagaimanapun, aku juga masih memiliki naluri manusiawi untuk diriku sendiri. Waktu aku melihat wajah kapten itu, aku benar-benar ingin membunuhnya. Aku sering menggenggam pisau di balik punggungku saat malam setelah aku menjadi budak pelampiasan tentara-tentara bejat itu. Segala sisa dalam diriku dijadikan sebuah bentuk hiburan bagi mereka. Tadi aku mengatakan naluri hewani dan manusiawi, kan? Rasanya aku tidak pantas menyebut dua hal itu di sini karena keadaanku sudah lebih parah dari apa yang bisa disebut kebuasan.

Antara Aku dan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang