17. Sesuatu Itu Akan Tetap Di Sana, Berada Dalam Dirimu Atau Lebih Dalam Lagi

10 4 0
                                    

PERNAHKAH kalian merasakan sebuah ketidakpercayaan pada orang lain? Seperti sebuah penghianatan secara tidak langsung yang mencapai inti sebuah hati. Rasa sakit muncul dengan perlahan dan perlahan juga membesar secara beruntun, memukul secara telak pada akhirnya, rasa sakit seperti itu. Lalu pada akhirnya, kau memilih sebuah jalan yang memperdalam rasa sakitmu, menggali sendiri untuk menemukan 'sekuat apa aku di sini?' Dan saat kau sudah mencapai dasar, tidak sanggup kembali ke permukaan dan mati di sana. Tanpa kabar dan dugaan bahwa itu adalah akhir secara nyata, menyerah di dasar galian sendiri, diam termenung dengan menekuk kedua lutut dan menangis seperti anak kecil. Kemungkinan Hanabi sudah merasakannya.

Walaupun dia sendiri memiliki masalah berat yang baru kuketahui sesaat sebelum kematiannya, namun dia selalu menghibur banyak orang; aku ataupun anak-anak gereja. Namun di samping itu, dia adalah entitas yang lemah, menanggung banyak hal untuk sebuah tujuan sepele. Aku mengingat dengan jelas wajahnya saat menatap kematian ayahnya. Sebuah wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya pada dirinya, sebuah kesedihan dengan kesedihan yang dalam. Kematian ayahnya adalah awal keterpurukan yang kejam. Ayahnya menderita tuberkolosis parah dan sering batuk dengan dahak darah, tiap melihat ayahnya seperti itu, dia selalu cekatan dalam merawat. Mengambilkan tisu, air minum, dan memijit belakang kepalanya. Hampir-hampir dia tidak pernah mengeluh sedikitpun tentang apa yang dia rasakan waktu itu, semuanya dia jalani seperti sebuah rutinitas harian layaknya pengantar koran, mengingat keadaannya waktu itu membuat tulang belakangku terasa sangat dingin. Jadi, saat melihat ayahnya dikremasi, dia seperti tidak percaya pada realita di hadapannya, menganggap ini semua hanya lelucon belaka. Kau pasti bangun setelah ini, kau ingin bermain dengan api, mungkin begitulah pikirannya.

"Dia orang berbudi luhur yang halus, aku harap bisa bertemu dengannya jika bereinkarnasi nanti."

"Kau percaya reinkarnasi?"

"Begitulah, seperti aku percaya bahwa aku hidup."

"Reinkarnasi dan hidup adalah dua hal yang berbeda, kukira. Mungkin secara harfiah terkesan sama namun ada perbedaan di dalamnya. Bisa jadi reinkarnasi adalah bentuk dari kehidupan itu sendiri, atau bukan termasuk dalam sebuah kehidupan. Mungkin dia menjadi sebuah entitas tidak dikenal setelah reinkarnasi, memiliki sebuah ingatan dan tubuh fisik yang berbeda, hanya inti dari sebuah diri yang tetap sama."

"Mungkin seperti itu, kita tidak tahu selama tidak pernah mengalami, itu hanya sekadar teori atau hipotesis belaka, bukan kebenaran. Bahkan seandainya kita sudah mengalami kita juga tidak akan tahu apa itu kebenaran. Tabir diberikan kepada mereka yang menjalani, seperti ditutup matanya dengan sebuah ikat dari sebuah kebenaran. Tapi kau tahu, Naoko? Tidak peduli bagaimana teori-teori itu sendiri, aku tetap memiliki sebuah keyakinan. Kematian adalah lawan dari kehidupan, seperti dinegasikan. Tiap orang hidup akan mengalami kematian, maka tiap orang mati juga mengalami kehidupan. Bukankah itu reinkarnasi? Paling tidak aku memiliki sebuah pondasi dari keyakinanku, tidak peduli itu benar atau salah –yang penting aku yakin." Ujarnya.

"Mungkin dalam alam yang berbeda. Dibawa dalam bentuk jiwa dan dimasukkan dalam tubuh baru di alam lain, atau mungkin hanya jiwa itu sendiri yang hidup, bisa jadi seperti itu. Seperti yang kau katakan, memang, kita tidak tahu sebelum menjalani, bahkan jika sudah menjalani, kita tetap tidak tahu."

"Aku tidak peduli, selama ada kehidupan setelah kematian, itu berarti reinkarnasi, bukankah begitu? Pada intinya tetap sama, hidup kembali. Paling tidak seperti itu yang terlihat namun mungkin hakikatnya berbeda. Seperti katamu, bisa jadi reinkarnasi itulah bentuk kehidupan yang sesungguhnya, atau bisa jadi itu adalah sebuah bentuk yang abstrak, tidak memiliki bentuk konkret dari sebuah makna."

Aku mengangguk dan memikirkan hal tersebut. Mungkin pada saat itu, itulah hal pertama dalam hidupku yang kupikirkan secara sungguh-sungguh hingga ke dasar sebuah sumur yang dalam dan gelap. Hanya untuk tahu apakah ada air atau hanya suara kering, tidak peduli apa yang ada di dalam sana, yang penting aku tahu, hanya itu. Namun ada satu hal yang pasti dan tidak kusetujui dari Hanabi, bahwa kematian bukanlah lawan dari kehidupan. Sejak awal bukanlah seperti itu dan tidak akan menjadi seperti itu. Kematian adalah bagian dari kehidupan, seperti paket lengkap sarapan dalam sebuah restoran, tidak bisa dipisahkan. Keabadian hanya jiwa yang tidak punya kehidupan dan tidak bisa dibilang hidup. Seseorang yang mengalami sebuah keabadian –aku tidak bisa membayangkan penyiksaan seperti apa yang dia alami. Mungkin dia tidak akan berpikir tentang sebuah kematian, reinkarnasi, ataupun berpikir tentang bulan yang menghilang.

Antara Aku dan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang