26. Mereka Yang Diselamatkan Akhirnya Mati, Mereka Yang Hidup Sudah Tuli

8 4 0
                                    

AKU mandi dan membasahi seluruh tubuhku dengan air hangat khas daerah bukit. Air memang berbentuk sama dan bersifat sama, mengalir dari atas ke bawah, hulu menuju hilir. Bisa dibilang itulah hukum dunia yang tidak bisa diubah oleh siapapun di dunia ini. Tapi bila berpikir seperti itu, apakah hal itu mutlak? Atau hanya berlaku di dunia yang aku kenal? Bila berpikir menuju pada hal seperti itu maka hampir bisa dibilang tidak ada yang tidak mungkin, semua kemungkinan bisa terjadi selama presentase kemungkinan tidak nol. Bahkan jika nol sekalipun masih mungkin untuk terjadi.

Bila mengingat tentang mimpi waktu itu aku berpikir demikian. Bisa jadi ada sebuah tempat dimana air bisa melayang dan tidak jatuh menuju bawah. Diam di tempat seperti ditampung pada sebuah telapak tangan raksasa yang mengelilingi secara tidak terlihat. Dalam waktu berpikir seperti ini aku tiba-tiba teringat dengan ibuku, tentang bagaimana kehidupannya dan mukjizat dia bisa hadir di mimpiku dengan indahnya dan ucapan yang masih menempel pada diriku sampai kapanpun. Mungkin inilah yang dia maksud bahwa aku tidak boleh mengambil jalan yang sama dengannya. Dalam artian sesungguhnya mungkin bisa diartikan bahwa 'aku tidak hidup dengan cara yang sama dengannya'. Berbagai hal mulai terlihat jelas bagai bulan purnama yang sudah hilang. Aku mengingat bagaimana ibuku menyukai bunga mawar putih di belakang rumah kecil kami, mawar yang indah dan benar-benar putih, bahkan warna putihnya yang jelas itu terkesan menyeramkan dibawah sinar rembulan yang halus. "Aku pernah membaca sebuah buku saat masih SMA, aku lupa apa judulnya tapi waktu itu aku benar-benar suka membaca. Kau juga harus suka membaca, Naoko," ibuku berkata padaku dengan memegang kepalaku dihadapan bunga mawar sebagai sebuah saksi suci. "Waktu itu aku membaca dengan amat khusyu tentang seseorang akan mati sesuai dengan bunga kesukaannya. Kau percaya itu? Kalau tidak salah di sana dijelaskan jika kau menyukai bunga musim dingin maka kau akan mati di musim dingin, jika musim panas maka mati di musim panas, begitu seterusnya. Tapi membaca seperti itu menimbulkan rasa senang pada diriku; bahwa seseorang bisa mati sesuai dengan kesenangannya sendiri dan minatnya terhadap dunia yang ia tinggali. Mungkin selera tidak bisa memihak, tapi paling tidak jika sudah suka maka dia akan menikmati, walaupun itu sebuah kematian sekalipun." Waktu itu aku menatapnya dengan serius. Sosoknya yang bersinar di bawah bulan yang terlihat lebih besar daripada hari biasanya seperti menampakkan sosok agung yang menghakimi bumi.

"Lalu, bunga apa yang kau sukai, Bu?" aku bertanya dengan nada dan suara anak kecil yang polos. Mungkin juga waktu itu aku menampakkan ekspresi senyum dan girang karena rasa ingin tahu di hadapan ibuku. Dia hanya tersenyum dan kembali melihat bunga mawar yang menghadap ke arah barat seperti ikut menatap bulan. "Bunga mawar putih itu sangat indah. Di balik warnanya ada kemungkinan warna lain, setahuku begitu. Bunga yang bisa mekar kapan saja tidak terikat pada waktu dan musim. Bukankah itu indah? Seperti bunga superior di atas segala jenis bunga. Tidak peduli apakah durinya akan menusuk orang yang ingin menikmati keindahannya, dia tetap mekar kapan saja sesuka hatinya. Durinya adalah kemuliaan, warnanya adalah keanggunan. Aku menyukainya, benar-benar suka. Dari segala jenis bunga, aku berharap aku bisa menjadi seperti bunga mawar, diam tapi indah dan bisa menjaga dirinya sendiri."

Sungguh waktu itu aku tidak memahami perkataan ibuku dan apa maksudnya. Akhirnya aku baru bisa memahaminya saat dewasa dan mengingatnya kembali secara tiba-tiba. Di dalam kata-katanya mengandung sebuah harapan dan impian, keunggulan tertinggi seorang wanita dengan kehormatannya. Dia seperti seorang ratu dengan penuh rasa hormat pada tingkah lakunya. Seorang ratu yang ingin digulingkan oleh keluarga lainnnya; sang pembenci yang mencekam seperti dalam lukisan Guernica karya Picasso. Sebuah tingkatan abstrak pada dunia nyata yang tidak bisa digambarkan dalam lukisan yang padu. Seorang seniman bisa melukis secara konkret apabila merasakan sesuatu secara pasti pada obyek yang dia lukis, namun dia tidak bisa melukis sesuatu yang kompleks pada perasaan. Keberaniaan akan menampilkan lukisan yang tidak bermartabat apabila seorang seniman nekat melukiskan hal seperti itu. Seperti itulah kompleksnya perasaan dan kejadian yang dialami ibuku waktu itu.

Antara Aku dan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang