30. Bagaimana Jadinya Bila Hitler Mati Karena Tersedak Kacang Polong?

2 3 0
                                    

TIDURKU dalam dan benar-benar nyenyak. Namun dikedalaman tidur itulah aku bisa merasakan sesuatu berada di dekatku, menatapku dengan sangat tajam seperti menginginkan sesuatu dalam diriku yang selama ini dia cari. Perasaan itu muncul selepas aku bangun dan mendapati sebuah perasaan ganjil dalam diriku. Aku memiliki sebuah insting yang cukup tajam dalam merasakan sebuah niat atau pertanda buruk yang terjadi di dekatku, walaupun terkadang aku merasakan perasaan ini cukup berlebihan, tapi karena perasaan inilah terkadang aku sering menghindari masalah.

Waktu aku SMA, beberapa kali aku sering diajak oleh teman-temanku untuk main dan berjalan-jalan pada akhir pekan. Waktu akan segera berangkat, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh dalam langkahku, seperti ada sesuatu yang menahanku agar tidak pergi dan mencari sebuah alasan logis untuk melindungi diri. Pada akhirnya aku membatalkan rencana begitu saja dan tidak ikut dengan teman-temanku. Oleh karena itulah aku bisa dibilang hampir tidak memiliki teman akrab selain Hanabi, karena bersama dengannya, aku hampir tidak pernah merasakan perasaan ganjil semacam itu tiap melakukan sesuatu. Dalam dirinya –dan dalam diriku terkandung butiran magnet yang saling berkaitan dan menimbulkan semacam kesan aneh dan ganjil.

Waktu aku terbangun di kamar dengan dinding yang tidak kukenal, aku langsung menyadari bahwa aku sedang tidak di rumah. Di kamar kecil itu hampir tidak ada lukisan yang menggantung ataupun pemutar musik. Sepertinya Paman Kanae itu bukanlah orang yang menyukai sebuah karya seni dan menikmatinya sepanjang waktu. Padahal aku berharap di saat-saat seperti ini ada yang bisa aku lihat atau dengarkan untuk menghilangkan sebuah perasaan takut dan canggung pada hatiku. Perasaan semalam masih menyisa dan meninggalkan bekas dalam diriku; bahwa ada seseorang atau sesuatu yang mengawasiku dalam jarak sangat dekat. Tapi, entah bagaimana walaupun aku merasakan kehadirannya secara jelas, tubuhku tidak merespon dan tetap tidur dengan pulas, hanya reaksi dari instingku saja yang tetap bekerja. Apakah semacam ketakutan yang membuat diriku hanya bisa diam ditatap seperti itu? Kalaupun benar maka sesuatu itu cukup menyeramkan untuk disebut sebagai manusia. Seseorang bisa merasakan sebuah ancaman hingga tahap tertentu untuk melakukan perlindungan diri. Tapi, pada suatu titik, maka manusia akan menghadapi tahap diam yang hanya bisa melihat kejadian selanjutnya dengan penuh ketakutan. Diri mereka tidak bisa bergerak karena rasa takut dan keyakinan kalau apapun yang mereka lakukan adalah hal yang percuma. Dan tahap itu hanya akan terjadi bila manusia sudah putus asa.

Saat aku keluar dari kamar, Fumioka sedang duduk diam menghadap pintu masuk sembari tangannya berada di atas pahanya, layaknya sedang menunggu seseorang yang akan datang. Tatapan matanya seperti orang mati yang tidak sadar tentang apa yang berada di sekitarnya, barangkali jika ada truk lewat tepat di sampingnya, dia akan tetap diam seperti itu. Aku duduk di depannya dan mengancurkan daya konsentrasinya yang amat dalam, dia tiba-tiba tersadar bahwa aku ada di sana dan tersenyum kecil padaku.

"Kau bangun cukup pagi, ya? Sepertinya kemarin kau juga tidur lebih dulu, mungkin karena kelelahan, kukira. Padahal aku berniat berbicara sedikit banyak denganmu." Kataku dengan sebuah kebohongan kecil.

"Sedikit banyak?"

"Tidak tahu pastinya, jadi aku katakan begitu saja, sedikit banyak. Lagipula memang ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan bicarakan denganmu, tapi aku tidak tahu bagaimana memulainya dan mengatakannya. Apa yang ada dipikiranku sulit untuk dikatakan, dan terkadang apa yang aku katakan adalah sesuatu yang tidak aku pikirkan. Spontanitas begitu saja."

"Spontanitas?"

"Tiba-tiba, tiba-tiba muncul di otakku seperti sebuah kereta cepat dan menerobos mulutku lalu menjadi sebuah kata-kata yang aku ucapkan. Terkadang hal seperti itu merepotkan, bukan. Kita bisa membuat banyak masalah dari sesuatu yang diucapkan tanpa diam di pikiran. Lagipula memang ucapan tidak bisa ditarik kembali, minta maafpun tidak menghapus jejak sakit hati pada subyek lainnya."

Antara Aku dan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang