23. Sesuatu Yang Mengetahui Mereka Yang Diam

11 4 0
                                    

TIDAK perlu banyak waktu untuk Fumioka mengajakku bertemu dengan Paman Kanae. Dia seperti sudah bersiap untuk mengajakku ke rumahnya dan melakukan apa yang sepertinya sudah dalam kendalinya. Aku tidak menjumpai sebuah ekspresi kaget atau reaksi tiba-tiba atas seluruh gerakan dan apa yang aku katakan. Bahkan dia tidak merasa perlu mengabari Paman Kanae itu jika akan mengajak seseorang datang, entah antara anak ini tidak tahu jika harus mengabari lebih dulu atau memang dia sudah berkata sebelumnya. Aku membanyangkan anak ini berkata dengan pamannya bahkan sebelum rencana itu sendiri ada. Memikirkannya saja bahkan sudah di luar imajinasiku. Layaknya tidak punya emosi atau memang sudah tahu; dua hal yang tidak aku pahami dari anak ini. Beberapa manusia memang memiliki kelebihan seperti tidak adanya emosi pada wajah mereka; kelebihan yang mahal dan hampir tidak dapat dihargai dan tidak memiliki emosi termasuk sebuah emosi tersendiri. Terkadang aku berharap juga bisa memiliki sebuah emosi dimana aku tidak bisa merasakan banyak emosi. Aku membayangkan sebuah tempat berair yang sangat luas dan tenang, tidak ada ombak atau gejolak yang merusak tatanan ketenangan di sana. Aku menginginkan hal semacam itu bisa menimpaku. Namun, emosi semurni itu butuh sebuah pengabdian pada hidup dan kehidupan, harga yang harus ditebus dengan sebuah penderitaan dan mengalami segala emosi yang bisa dirasakan manusia. Manusia bisa merasakan sebuah emosi baru apabila mereka sudah merasakan semua emosi yang sudah dikenal, dan yang belum ada namanya.

Selepas dari Hotel Emanon, dia menggenggam tanganku dengan genggaman lembut namun erat. Baru kali ini aku bersentuhan secara fisik dengan tubuh Fumioka. Tubuh seorang gadis polos yang masih suci –menurutku. Tangannya kecil dan hangat, di balik genggamannya ada semacam gejolak emosi yang mengganggu. Seperti rasa antusias namun tidak seperti itu. Aku tidak bisa menyebut emosi semacam apa yang aku rasakan dari genggaman itu. Antusias, takut dan sebuah pengharapan; campuran berbagai emosi yang membentuk angin pelan dan membuat diriku merinding. Dia berjalan dengan cukup santai dan tangkas, aku menyesuaikan langkah di sampingnya dan meliriknya beberapa kali. Dia hanya menunduk dan berjalan lurus. Bagaimana jika dia menabrak orang lain, pikirku saat meliriknya berjalan dengan model seperti itu. Tapi sepertinya dia sudah terbiasa dengan hal-hal yang menurutku aneh, membiasakan diri pada sesuatu yang tidak banyak dilakukan manusia lainnya.

Pada jam siang seperti ini tidak banyak orang berlalu lalang seperti sore hari atau jam sibuk. Hanya terlihat beberapa orang lansia atau mereka yang mungkin meninggalkan pekerjaannya karena alasan tertentu. Mungkin juga di antara mereka ada penulis atau peserta Sayambara Akutagawa yang kuseleksi naskahnya namun tidak kubaca tuntas. Fumioka dan aku langsung menuju kereta di jalur paling barat yang mengarah pada daerah perbukitan di seberang danau. Tidak banyak –bahkan kereta itu hampir terlihat kosong. Cukup bisa dipahami bahwa tidak ada orang yang menuju perbukitan pada siang hari dan jam kerja. Terlihat di jendela sebuah deretan perbukitan di samping danau yang melebar dan terlihat cerah terkena sinar matahari. Di sana tercetak sebuah pantulan cahaya memanjang dan menyilaukan seakan mengembalikan pantulan pada langit, menolak sebuah pemberian dan anugerah, aku memandang pemandangan seperti itu. Mungkin memang terlihat seperti sebuah pemikiran pesimistis seorang wanita aneh yang bahkan tidak bisa menyelesaikan sebuah naskah dengan baik.

Fumioka hanya diam sepanjang perjalanan sambil tetap menggenggam tanganku. Kekuatan cengkramannya tidak berubah semenjak dia menggandengku dari Hotel Emanon. Pada genggaman itu sekarang sudah dipenuhi keringat yang mungkin berasal dariku, sedangkan tangan Fumioka masih tetap dingin dan kecil, seperti menolak keburukan yang diberikan dengan lembut. Anak ini tidak seperti air di danau tadi, tidak seperti sifat air. Dia memiliki sifat lain yang membentuk dirinya menjadi seperti ini. Aku teringat sebuah perasaan gejolak amarah dan kesedihan waktu pertama kali meninggalkan kotaku dan berpindah ke sini. Mungkin perasaan waktu itu hampir sama dengan perasaan waktu tanganku digenggam oleh anak ini, perasaan yang pernah kurasakan dan aku mengetahuinya, namun sama sekali tidak tahu tentang perasaan semacam itu. Diriku tidak mengenal perasaan yang merepotkan seperti itu sewaktu masih berada di kota lama. Tapi begitu aku keluar, banyak sekali perasaan yang aku rasakan dan bergejolak. Aura di kota lama menolak semua energi perasaan positif dan menyerapnya sedemikian rupa bagi mereka yang ada di dalamnya. Tanggalkan segala harapan, bagimu yang masuk kemari, tiba-tiba aku mengingat kata-kata itu. Mungkin ucapan seorang filsuf yang hadir pada acara minum-minum di sebuah bar yang kotor dan kalah dalam perjudian. Ucapan indah tidak akan muncul di tempat yang indah.

Antara Aku dan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang