25. Semakin Besar Kelebihan Maka Jurang Kekurangan Semakin Lebar

11 4 0
                                    

SINAR temaram senja melewati sela-sela rumah dan sekolah, membuat sebuah siluet yang semakin memanjang. Udara masih terasa dingin walaupun sudah dipenghujung musim dingin, musim semi datang dengan sebuah harapan dan rahasia; sinar ungu menampakkan sebuah kewibawaan alam yang hampir tidak pernah dikeluarkan sebelumnya, sebuah ketenangan dan pembukaan sesuatu yang baru.

Rumah itu terbuat dari kayu yang masih terlihat kuat dan mengkilap, tidak ada bekas serangan rayap yang menggerogoti kayu itu, benar-benar masih terlihat sebuah rumah gaya tradisional yang masih sangat bagus, hanya lokasinya saja yang tidak masuk akal; di dalam kompleks sekolah dan di tengah hutan.

Fumioka masuk tanpa basa-basi, membuka pintu geser tipis dan melepas sepatunya. Aku heran dia bahkan tidak terlihat kelelahan setelah jalan kaki selama itu –bahkan kakiku sudah terasa sangat gatal dan menusuk di bagian betis. Berpikir bahwa aku harus melewati jalanan semacam itu bila ingin ke stasiun atau minimarket saat malam hari sudah tidak ada harapan. Dalam hal ini syukur memenuhi hatiku yang masih diberikan sebuah ketenangan dalam suasana dan tempat semacam ini. Suasana yang damai dan cenderung jauh dari sebuah kehidupan yang kuketahui membawa sebuah ketenangan batin yang istimewa. Aura daerah ini memberikan semacam sesuatu positif yang mendamaikan hati walaupun hati itu bergejolak seperti ombak pasang purnama. Orang-orang mulai masuk kedalam rumah-rumah mereka dengan diam, aku membayangkan mereka setiap hari melakukan hal yang sama pada waktu yang sama seperti seekor burung kembali saat sore hari. Di dalam rumah itu tidak terlalu banyak perabotan yang membuat rumah tersebut terlihat lebih besar dari kelihatannya. Bahkan kedamaian masih menyelimuti di dalam rumah ini.

Suara langkah kaki terdengar dari belakang saat aku selesai melepas sepatu, seseorang keluar dari pintu geser tipis menunjukkan sesosok tubuh laki-laki paruh baya yang berumur sekitar lima puluhan, mungkin. Jika diharuskan menebak aku memilih angka lima puluh enam sebagai bagian dari pria itu. Dia memakai kaos polo dan celana olahraga berwarna abu-abu yang terlihat kebesaran di kakinya yang kecil namun panjang. Kepalanya sudah botak hingga pertengahan ke belakang, menunjukkan kulit kepalanya yang cukup putih dengan rambut halus –yang juga berwarna putih hingga hampir tidak terlihat dari jarakku dengannya. Tingginya mungkin sekitar 172 cm dengan dahi yang terlihat lebar jika dikombinasikan dengan kebotakannya itu. Matanya yang kecil namun terlihat tatapan tajam dan sebuah aura intelektual muncul dari mata yang berada di balik kacamata yang cukup tebal dengan frame berwarna hitam. Dia kurus dan bisa dibilang terlalu kurus untuk ukuran tinggi dan umurnya. Melihatnya mengingatkanku pada sebuah tokoh dokter antagonis yang mengoperasi tokoh utama dengan brutal.

"Oh, kau sudah pulang," katanya setelah menggeser pintu tipis itu lalu melihatku dengan ekspresi datar, seperti tidak ada keanehan dari pandangannya seakan dia sudah tahu –dan mungkin memang sudah tahu karena Fumioka. "Aa, si penulis. Nak Fuka sudah bilang padaku kalau akan mengajak seorang perempuan yang suka menulis, katanya. Tidak kukira akan langsung pada hari ini, maaf tidak ada apapun untuk menyambut anda di sini. Lagipula anda pasti tahu sendiri setelah melewati hutan itu sore begini," ujarnya dengan cukup ramah dan senyum yang mengembang di wajahnya. Senyum yang mengembang pada pipinya yang kurus terlihat seperti sebuah harapan pada gurun pasir. Ada sebuah ketulusan di sana.

"Tidak apa, tidak perlu bersikap istimewa terhadapku. Lagipula aku juga tidak menyangka akan bertemu dengan cara seperti ini. Secara tiba-tiba aku diajak Dik Fumioka ini kemari, untuk menemui Pamannya, katanya –dan masalah hutan, memang itu cukup merepotkan bila harus ke kota dengan melewati alam seperti itu berjalan kaki. Jika aku tinggal di tempat seperti ini aku bahkan tidak akan membayangkan akan ada tamu yang berkunjung walaupun itu babi hutan. Maaf, tapi aku tidak bermaksud buruk, hanya mengungkapkan perasaanku secara tiba-tiba." Setelah berbicara seperti itu aku merasa sedikit menyesal karena sebuah kalimat sederhana. Seakan-akan aku memprotes keadaan tempat ini dan mengatakan bahwa aku enggan di sini. Suara serangga mulai bersahutan menggelar sebuah orkestra atau paduan suara di tengah hutan. Gemerlap bintang mulai terlihat jelas berbinar di atas langit biru kehitaman dengan gradasi ungu bekas dilukis seseorang. Tapi tetap saja pemandangan itu tidak sempurna dimanapun berada, kekosongan mengisi langit dengan keagungannya seperti lukisan tradisional Jepang.

Antara Aku dan ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang