SEJAK kematian ibuku hingga beberapa bulan setelahnya, aku hanya memikirkan tentang kematian. Aku mengingat kembali kejadian-kejadian masa lalu yang membuatku semakin sakit, tak ada momen istimewa yang dapat diingat kembali. Semuanya hilang dalam sekejap, ditelan kebencian. Bagiku pada saat itu, mengakhiri nyawa sendiri adalah hal yang mudah dan sangat masuk akal. Mengapa aku tidak melakukannya? Aku tidak bisa menemukan jawabannya sampai hari ini. Padahal, waktu itu jauh lebih mudah mengakhiri hidupku, melangkahi batasan hidup dan mati daripada menelan sebutir telur mentah.
Mungkin barangkali aku tidak mengakhiri hidupku karena niatan itu terlalu murni dan terlampau bersih, sampai-sampai aku tidak bisa memikirkan cara yang paling tepat untuk mengakhiri hidupku. Tetapi, tentang bagaimana cara mati yang elegan, itu perkara nomor dua. Seandainya waktu itu ada pintu yang terhubung langsung menuju alam kematian, tentu saja aku akan membukanya tanpa ragu-ragu, tanpa berpikir kembali. Seolah-olah itu adalah perkara yang sangat ringan dan selalu dilalui sehari-hari, tetapi, entah untung entah malang, aku tidak bisa menemukan pintu semacam itu sampai sekarang. Aku sering berpikir kembali, sendainya aku mati pada saat itu. Kalau aku mati, dunia di sini tidak ada dan apa yang dianggap kenyataan adalah tidak nyata. Sesuatu yang tidak ada menjadi ada, semua diputarbalikkan. Namun disaat yang sama, ketika aku memikirkan alasan untuk mengakhiri hidupku, aku tidak paham mengapa aku bisa sampai kesana. Memang, kejadian pemakaman ibuku mendorongku untuk berlari kearah sana, namun ada dorongan lain selain kejadian itu. Seperti sebuah kerinduan, kerinduan akan kematian menyelimutiku setelah kejadian itu. Kerinduan itu membungkus seluruh tubuhku. Membungkus -itu kata yang tepat untuk digunakan. Seperti kisah-kisah dalam kitab suci tentang seseorang yang ditelan ikan paus raksasa, berada dalam gua hampa yang gelap dan keruh. Putus asa dan tidak punya harapan selain keyakinannya untuk selamat -itulah perbedaannya denganku.
Selama hari-hari penuh dengan kebimbangan itu, aku seperti berada dalam batas kehidupan. Antara mati atau tidak mati. Kedua alam itu seperti menolakku dan saling melempar ke arah sebaliknya. Hampir tidak bicara dengan siapapun kecuali sedikit dengan ayahku, selalu duduk di lantai, bersandar ke dinding, dan merenungkan kematian atau kegagalan hidup. Dihadapanku seperti terbuka sebuah jurang yang besar dan gelap, begitu dalam hingga menembus bumi. Yang terlihat hanyalah kehampaan, yang terdengar adalah keheningan yang dalam dan menyiksa. Saat tidak memikirkan kematian ataupun kegagalan, aku tidak memikirkan apa-apa. Itu tidaklah sulit. Tidak membaca buku, tidak membaca koran, mendengar musik ataupun hasrat berahi. Rasanya tidak ada makna sama sekali disekitarku. Ketika merasa lelah, aku berjalan-jalan tak tentu arah menuju rel kereta api, melihat kereta lewat dengan cahaya temaram menyolot dari depan, namun aku tidak merasakan apa-apa. Sebuah ketakutan -dan juga keinginan muncul saat sebelum tidur. Aku ingin memimpikan ibuku, namun disisi lain, aku malu bertemu dengannya, seorang anak yang tidak bisa melakukan apapun, bahkan menangis pun tak bisa, saat kematian ibunya.
MIYAKO meneleponku pagi-pagi sekali, bukan waktu yang tepat untuk menelepon seseorang yang baru dikenal. Namun rasanya bagiku sudah biasa merasakan hal merepotkan seperti ini. Aku baru bangun dan masih setengah telanjang, aku lupa apa yang terjadi kemarin setelah bertemu dengan Pak Takeda. Semakin aku mengingatnya, rasanya semuanya semakin kacau dan aneh. Aku mengangkat telepon itu dalam keadaan masih menyipitkan mata, rambut yang berantakan dan tidak tahu jam berapa.
"Hei Naoko, apa kau kosong hari ini?" Tanpa awalan ataupun salam basa-basi. Rasanya dia seperti Pak Takeda yang langsung ke inti.
"Mungkin, aku masih belum sadar."
"Oh maaf, aku membangunkanmu? Jika iya, aku matikan saja."
"Tidak perlu. Aku sudah bangun walau sedikit kesal."
"Begitu. Mari bertemu ditempat yang sama nanti malam. Aku sedang kosong dan tak tahu mau berbuat apa. Lagipula aku ingin membicarakan sesuatu."
"Baiklah. Aku kesana pukul tujuh. Jika tidak lupa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku dan Manusia
Ficción General"Cukup satu kesalahan, itu akan membuatmu menderita." Lahir di kota yang sakit, dengan segala situasi yang sakit. Mencari apa itu kebahagiaan, dan menghindari segala kepura-puraan. Semesta kecil seorang wanita, yang dirundung kenangan dan masa lalu...