Markus kembali ke rumahnya di komplek perumahan Puri Indah menjelang pukul sembilan malam. Ketika dia tiba, Maria sedang menonton acara komedi di televisi. Istrinya menyambutnya.
"Anak-anak sudah pulang?" tanyanya sambil berjalan menuju dapur.
"Si Kembar belum. Kalau Regina kan ke Bali," jelas Maria mengekori suaminya ke dapur. Markus mengambil sebuah gelas besar dan mengisinya dengan air minum. Maria menyiapkan makan malam untuk Markus.
"Saya tidak makan lagi, Ma. Tadi saya bertemu dengan Fernando dan kami makan malam bersama," jelasnya sebelum meneguk isi gelasnya.
"Fernando ke Jakarta?" tanya Maria terkejut. "Dalam rangka apa?"
"Kita bicara di kamar saja. Ada hal penting yang harus saya katakan padamu," kata Markus sambil meletakkan gelas dan langsung pergi. Maria buru-buru menutup makanan yang terlanjur dihidangkan dengan tudung saji. Setelah itu dia bergegas menyusul Markus. Mendengar kata hal penting, jantung Maria berdebar. Dia selalu berdebar bila Markus ingin mengatakan sesuatu yang penting.
"Ada apa?" tanya Maria tidak sabaran sambil menutup pintu di belakangnya. Markus sedang berganti baju. Melihatnya, Maria buru-buru mengambil sarung yang biasa dipakai suaminya. Markus tetap setia mengenakan sarung di rumah, walau orang-orang telah banyak yang beralih ke celana. Menurutnya mempertahankan budaya adalah salah satu wujud cara berpikir yang modern. Kalau berpikir modern, seseorang harus menghargai apa yang menjadi identitas dirinya. Sebaliknya, melupakan budaya sendiri adalah cara berpikir yang mundur.
"Ada apa?" tanya Maria lagi saat Markus telah selesai mengenakan sarungnya. Suaminya hanya mengenakan kaos kutang dan sarung. Dia duduk di tepi ranjang sambil menyisir rambutnya yang sudah ubanan dengan tangannya. Walau Maria penasaran tapi saat melihat uban di kepala suaminya dia langsung berpikir untuk mengecat hitam rambut Markus.
"Fernando tadi menemui saya dan menyerahkan surat wasiat Adrian," jelas Markus sambil memberi isyarat pada Maria untuk mengambil tas kerjanya. Maria menurut dengan gerakan yang agak cepat. Dia mengambil tas kerja Markus memberinya dan langsung mengambil tempat di sisi suaminya.
"Wasiat apa Ka'e?" tanya Maria merasakan jantungnya kembali berdebar. Kejutan apa yang ditinggalkan Adrian. Semoga bukan harta benda, karena itu akan menyusahkan mereka. Suaminya tidak suka menumpuk harta, mereka sudah cukup bahagia dengan hidup sederhana. Sekalipun gaji Markus sebagai pengajar dan penasehat ekonomi termasuk tinggi, mereka tidak membiasakan diri hidup bermewah-mewah. Markus justru menggunakan sebagian gajinya untuk menyekolahkan anak-anak saudaranya di kampung hingga ke perguruan tinggi.
"Kau baca dulu," kata Markus sambil mengeluarkan amplop cokelat berkuran besar dan menyerahkannya pada Maria. Wanita berparas halus itu menerimanya dengan wajah penuh tanda tanya. Keingintahuannya langsung terjawab begitu dia membaca surat wasiat Adrian.
"Oh – kasihan," komentarnya setelah membaca. "Di akhir hidupnya pun dia masih memikirkan masa depan anaknya. Anak yang malang. Tidak punya ibu, sekarang juga kehilangan ayah."
"Iya, kasihan anak itu," sahut Markus. Tapi dia berharap Maria paham inti dari surat wasiat tersebut. "Bagaimana menurut Mama?"
"Nikahkan saja," sahut Maria tenang. Kata-katanya justru terdengar enteng di kuping Markus.
"Begitu saja?" tanya Markus heran. Maria tidak mencemaskan reaksi Regina sama sekali. Perjodohan bukan hal yang mudah untuk disampaikan pada Regina. Anak gadis mereka itu sangat mandiri dan tidak suka bila ada orang yang mencoba mengatur hidupnya sekalipun orang tuanya sendiri.
"Adrian kan sudah meminta kita, apa harus ditolak? Bagaimana menolaknya, Ka'e? Kalau orangnya sudah tiada," ujar Maria. Istrinya benar. Tapi masalah tidak sesederhana itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)
AdventureKetika meninggalkan Amerika dan kembali ke Indonesia demi wasiat terakhir ayahnya, Kilian Humphrey, pemuda berusia tujuh belas tahun, berharap mendapatkan perlindungan dari seorang gadis bernama Regina Seda. Kilian diberkahi tiga hal: tampan, cerd...