27

1.7K 121 3
                                    

Minggu pagi-pagi setelah sarapan di hotel, Regina dan teman-temannya meninggalkan hotel untuk memulai petualangan mereka berkeliling negara Singa putih itu.

"Sayang sekali kita nggak ketemu si cowo bule itu," kata Jessica saat mereka meninggalkan hotel menuju MRT Orchard. Regina langsung memasang wajah tak senang. Dia tidak ingin Jessica meledeknya lagi.

"Jangan merusak hari Regina, Jess," kata Tanzila, mencoba berada di pihak Regina.

"Kenapa? Gua cuma ingin melihatnya lagi. Bukan masalah besar, kan?" sela Jessica tidak merasa ada sesuatu yang salah dengan pikiran yang dikemukakan.

"Iya – gua juga. Gua juga pengen ketemu cowo itu. Nggak tahu kenapa, gua merasa ada yang aneh dengan cowo itu."

"Mulai lagi deh," potong Tanzila. "Kali lo nggak pernah liat cowo secakep itu, makanya lo merasa aneh, Sus." Jessica tertawa mendengar celoteh Tanzila. Tapi Susie tetap tenang. Bukan Susie jika dia mudah terpancing dengan omongan Tanzila.

"Menurut lo, berapa kira-kira usia cowo itu?" tantang Susie pada Tanzila.

"Mana gua tau?"

"Berapa perkiraan lo, dodol," kata Susie. Tanzila terkejut disebut 'dodol'.

"Tentu saja, seumuran kita," sahut Tanzila kesal.

"Salah. Dia pasti masih remaja. Jika dia sudah dewasa, tidak mungkin dia berlibur dengan orang tuanya. Orang tua mana yang berani melepaskan anak remaja berlibur jauh-jauh ― seorang diri pula. Bayangkan, dari Eropa sampai ke Asia Tenggara," jelas Susie.

"Benar juga," kata Jessica.

"Karena itu, kita nggak perlu membahasnya lagi. Ngapain coba, kita membahas berondong? Wasting time!" kata Susie. Semua terdiam. Pikiran Regina langsung teringat pada Kilian saat mendengar kata berondong. Regina iri pada kejelian Susie. Sahabatnya itu bahkan bisa bersikap tegas pada hal yang dirasakan tidak penting baginya.

Seolah-olah semua setuju dengan pendapat Susie, sepanjang perjalanan mereka tidak lagi ada pembahasan tentang si cowo bule itu.

Dari hotel, mereka langsung mengunjungi China Town. Mereka membeli beberapa souvenir tapi tidak mencoba kulinernya yang terbanyak berupa daging babi. Mereka tahu Tanzila seorang muslim, jadi tidak mungkin mereka menyentuh makanannya. Selain membeli souvenir, Jessica dan Susie juga membeli beberapa jenis obat Cina. Jessica bahkan mempromosikan kemanjuran obat-obat yang dibelinya untuk beberapa penyakit dan juga kecantikan. Mendengarnya Regina memutuskan untuk membeli beberapa jenis obat untuk penyakit ringan untuk kedua orang tuanya.

Setelah puas berkeliling di Cina Town, mereka melanjutkan perjalanan ke Sentosa Island. Dengan menggunakan MRT mereka tiba di Harbour Front tidak lebih dari sepuluh menit. Sebelum pergi ke Sentosa Island, mereka memutuskan untuk makan siang di Food Republic yang berada di lantai tiga VivoCity.

Food Republic adalah tempat semacam foodcourt yang memiliki beberapa kedai yang berdiri terpisah-pisah. Tempatnya mengingatkan pada masa tempo dulu karena memiliki design bergaya kampung. Regina menyukai tempat itu karena sederhana dan tentu saja karena tersedianya makanan Indonesia di tempat itu.

"Percuma saja lo datang kemari, kalau ujung-ujungnya lo hanya makan masakan Indonesia," keluh Jessica. Mereka duduk berhadapan di meja makan kayu yang besar dan panjang yang usianya sudah tua.

"Gua kemari untuk bekerja bukan untuk wisata kuliner," sahut Regina. "Lagipula gua kan memang pecinta masakan Indonesia. Nasionalis sejati, gua nih."

Jessica mencibir sambil tertawa. "Lalu bagaimana lo bisa hidup saat di London dan New York?"

"Ah – itu." Regina berpikir sejenak. "Tidak usah gua ceritakan."

"Kenapa?" tanya Susie.

"Karena hidupnya di sana penuh perjuangan. Tidak hanya masalah studi tapi juga masalah perut," sahut Tanzila yang dulu pernah mengunjungi Regina di London.

"Yang benar saja?" tanya Susie. Dia tidak percaya jika Regina mengalami masa yang sulit selama sahabatnya itu pergi mengikuti kursus menulis di London atau New York. Dia tahu ekonomi keluarga Regina cukup baik. Bahkan ayahnya mampu menyekolahkannya S2 di luar bila Regina mau.

"Jangan berpikir gua ke sana dengan uang ayah gua. Gua bekerja paruh waktu untuk menghidupi diri gua sendiri," kata Regina.

"Benarkah? Lo koq nggak pernah cerita," protes Jessica.

"Tentu saja. Selama di sana gua tidak punya waktu untuk menulis e-mail, kecuali kartu pos. Dan itu pun tidak sampai ke tangan lo karena ternyata lo sudah pindah rumah." Jessica tertawa. Ketika pindah rumah dulu, dia tidak mengabari Regina.

"Terus kenapa lo harus membiayai hidup lo sendiri? Kenapa lo nggak minta aja bantuan bokap lo?" tanya Jessica penasaran.

"Gua ingin tahu saja-seperti apa sih susahnya ayah gua dulu. Karena dulu, semasa mudanya, ayah gua selalu membiayai hidupnya sendiri. Dia tidak bisa menopang hidupnya pada kakek gua, karena kakek gua harus menghidupi sembilan anaknya yang lain."

"Astaga, Na. Nekad banget sih lo."

"Si Ina emang tukang nekad. Kalau dah jadi kemauannya, nggak ada yang bisa hentikan." Mereka tertawa. Tiba-tiba ponsel Regina bergetar. Dilihatnya nomor rumahnya. Dengan sigap Regina memberi isyarat pada teman-temannya untuk tenang, setelah itu dia menjawab telepon.

"Halo?" kata Regina pelan.

"Sedang apa kamu?" suara berat Markus terdengar di seberang.

"Aku sedang makan siang bersama teman-teman," jelas Regina.

"Kamu menginap dimana?"

"Di Marriott."

"Berapa lama kamu akan di sana?"

"Seminggu."

"Baik," kata Markus kemudian terdiam sejenak. Regina bersiap-siap. Dia tahu ayahnya sedang mengatur kata-kata. Dia belum pernah dimarahi oleh ayahnya karena itu dia merasa sangat ketakutan.

"Ina."

"Iya?" sahut Regina hati-hati.

"Papa mau minta tolong sama kamu."

"Iya?"

"Karena kamu sudah berada di Singapura, segera kamu temui Oom Fernando dan Kilian di sana. Sekarang mereka juga sudah berada di Singapura," ujar Markus.

"Tapi Pa..." Regina ingin memprotes tapi suaranya tersekat di tenggorokannya.

"Ingat, jaga sikapmu. Jangan kekanak-kanakkan. Kalau kali ini kamu membuat masalah lagi, kamu jangan pernah menganggap kami orang tuamu lagi," kata Markus dengan tegas. Kemudian dia mengakhiri teleponnya tanpa membiarkan Regina berkata sepatahpun.

Regina terbengong beberapa detik dengan handphone yang masih menempel di kupingnya. Ini sudah keterlaluan. Dia marah sekali. Tapi dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Reaksinya akan memancing rasa ingin tahu teman-temannya. Terpaksa dia harus menelan kekesalannya.

"Siapa itu? Bokap lo?" tanya Susie.

Regina mengangguk pelan. Berusaha bersikap wajar. Matanya melirik ke arah Jessica, memberi isyarat bantuan darinya. Jessica mengerti.

"Habis makan, kalian mau langsung ke Sentosa atau mutar-mutar dulu di sini?" tanya Jessica mengalihkan perhatian Susie dan Tanzila.

"Tentu saja Sentosa Island," sahut Tanzila.

"Iya. Biar kita bisa main sepuasnya. Ke Bugis besok saja," kata Susie. Begitu Susie menyebut Bugis, pembicaraan mereka telah beralih pada barang-barang murah yang tersedia di Bugis dan tempat-tempat belanja yang lain di Singapura. Jessica sibuk menjelaskan pada teman-temannya, tapi sesungguhnya dia lebih memikirkan tentang isi pembicaraan Regina dan ayahnya.

THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang