26

1.8K 124 0
                                    

Setelah puas menyusuri Orchard Road dan berfoto di sana sini, Regina dan teman-temannya memutuskan untuk duduk-duduk nongkrong di depan Ion Mall. Mereka duduk di tangga depan pelataran mall tersebut. Ion Mall dibuka pada tahun 2009 dan hal yang paling menarik dari mall tersebut adalah dinding kaca depannya berfungsi sebagai layar televisi raksasa.

"Lo sering ke sini ya, Jess?" tanya Regina pada Jessica sambil membidik berbagai hal yang dia anggap menarik dengan kameranya.

"Sebulan dua atau tiga kali. Jika ada acara keluarga, atau―kalau Robby lagi nggak sibuk aja," sahut Jessica. Regina berdecak kagum dengan penuh kecemburuan.

"Makanya..."

"Makanya apa?" tanya Regina sambil melirik ke arah Jessica.

"Terima saja tawaran orang tuamu," canda Jessica. Regina melototnya cepat. Dia takut Susie dan Tanzila mendengarnya. Kedua sahabatnya itu sedang sibuk dengan ponsel pintar di tangannya. Jessica tertawa. Regina buru-buru menariknya menjauh dan kemudian bergantian foto di pelataran mall tersebut.

"Jess, kira-kira di sini ada tempat makan yang bagus nggak?" tanya Regina saat mereka kembali duduk di dekat Tanzila dan Susie.

"Banyak," sahut Jessica. "Di Ion Sky juga ada."

"Di sini?"

"Di atas sana," sahut Jessica sambil menunjuk ke penthouse Ion Orchard.

"Kita makan di sana yuk," ajak Regina. "Aku yang traktir."

Susie dan Tanzila setuju.

"Jangan," potong Jessica. "Terlalu mahal. Bagaimana kalau kita bayar masing-masing?"

Susie dan Tanzila buru-buru mengeluh kecewa. Regina tertawa. Tapi kemudian Jessica bersedia mentraktir mereka bertiga.

"Asiiikk..." sahut ketiganya. Kemudian mereka beriringan masuk ke dalam mall dan menuju Ion Sky.

"Apa nama restaurannya?" bisik Regina. Saat itu mereka tidak sendirian di dalam lift. Ada sepasang suami istri, sepasang kekasih dan satu keluarga dengan tiga anak remajanya.

"Salt Grill."

"Enak tidak?" tanya Regina. Lagi-lagi kebiasaan memilih-milih makanan muncul. Regina dikenal tidak suka mencoba masakan-masakan baru. Baginya masakan yang enak itu hanya jenis masakan dari kampung orang tuanya. Sederhana dalam penyajian dan rasa. Karena itu teman-temannya sering bingung bila mengajaknya pergi makan. Mereka harus punya alasan yang kuat untuk membuat lidahnya yang kampungan itu – begitu mereka meledeknya, menerima jenis masakan yang lain.

"Tentu saja. Karena kokinya sangat terkenal. Namanya Luke Mangan," jelas Jessica.

"Oya, seterkenal itu? Tapi gua koq nggak kenal dia," sahut Regina bercanda. Jessica menggelitik pinggangnya. Regina menghindar karena geli.

Setelah tiba di Ion Sky, mereka langsung menuju restaurant Salt Drill. Mereka disambut ramah oleh pelayannya. Setelah mendapat tempat di sudut dekat jendela, keempatnya langsung memesan makanan.

"Tempat ini sangat cantik," ujar Susie sambil memandang sekitarnya. Tak jauh dari meja mereka duduk seorang pria asing paruh baya dengan seorang anak lelakinya yang sudah dewasa. Regina mengawasi pemuda yang duduk menghadap ke arahnya. Pemuda berjaket cokelat dengan kabel earphone putih menggantung di kupingnya. Regina terkejut. Pemuda itulah yang dia jumpai di lift hotel sore tadi.

"Wah – dia ada di sini juga," gumam Regina.

"Siapa?" tanya Jessica bingung sambil menoleh. Dia melihat dua orang pria asing, tapi dia tidak mengenal mereka. Jadi dia menoleh ke sana ke mari. Mencari-cari wajah yang dikenalinya. Tidak menemukannya dia berbalik ke Regina.

THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang