15

2K 130 0
                                    

Regina bergegas pergi ke kamar mandi. Sempat dia melirik jam dinding. Pukul 05.45. Tak lama dia keluar sambil menyikat gigi. Dia mendekati ibunya yang sedang merapikan tempat tidurnya. "Ma?" Maria bergumam menyahutinya.

"Apa Mama benar-benar menyetujui perjodohan itu?" tanya Regina.

"Seperti yang Bapamu katakan, kita tidak punya pilihan."

"Tapi Ma, aku tidak ingin menikah dengannya. Ini memalukan. Aku tidak bisa membayangkan memiliki seorang suami yang masih kecil dan..."

"Sudah, mandi dulu," potong Maria. "Mama harus pergi menyiapkan sarapan." Maria pergi ke dapur dan Regina berbalik ke kamar mandi dan memandang wajahnya di cermin dengan kecewa. Bahkan ibunya pun tidak bisa dibujuk.

Selesai mandi dan berpakaian, Regina pergi sarapan. Dia juga berjanji dalam hati untuk tetap tenang dihadapan ayahnya. Tapi dia sangat berharap ayahnya tidak lagi membicarakan perjodohan itu.

"Selamat pagi semua," sapanya saat muncul di ruang makan. Si kembar Joshua adan Javier meliriknya bersamaan. Hanya ayahnya yang tetap sibuk dengan koran di tangannya. Regina mengambil tempat di depan ayahnya. Bagus. Semoga saja ayahnya tidak terusik dengan kehadirannya. Tapi baru saja dia akan bernapas lega, Markus sudah meletakkan koran di hadapannya.

"Apa kegiatanmu hari ini, Nak?" tanya ayahnya.

"Aku harus mewawancarai beberapa pemilik butik di Dago." Dia hanya sarapan bubur dan dendeng sapi dan segelas teh manis hangat.

"Jadi Kakak akan ke Bandung hari ini?" sahut Javier. Regina mengiyakannya. "Belikan aku jaket yang bagus, Kak."

"Aku juga," sahut Joshua tidak mau ketinggalan.

"Kamu kan baru saja dibelikan. Kenapa minta lagi?" protes Javier. Dia tidak suka dengan sikap Joshua yang selalu ikutan minta dibelikan sesuatu setiap kali dirinya mengajukan permintaan. Sementara dia sendiri tidak pernah bersikap demikian. Bukan itu saja, dia juga kesal karena Joshua selalu menginginkan hal yang sama dengannya.

"Kenapa memangnya? Masalah buat lo?" engah Joshua.

"Berisik," protes Regina. "Kakak hanya akan belikan buat Javier."

"Yah – Kakak. Pilih kasih."

"Pilih kasih, jidat kau. Nilai kau saja tidak berubah, tapi banyak sekali permintaan kau," ujar Regina dengan logat Flores. Javier tertawa mengejek kembarannya. Joshua melemparnya dengan potongan timun.

"Aku janji, semester ini nilaiku akan bagus," ujar Joshua dengan wajah memohon.

"Kamu cocok sekali jadi politisi. Sukanya menjanjikan saja," sela Javier. Joshua kembali melemparkan timun ke Javier.

"Apa kamu punya waktu hari Sabtu ini?" tanya Markus tiba-tiba. Joshua langsung mengubah sikapnya. Dia sarapan dengan tenang. Markus memandang Regina. Regina membalasnya dengan curiga. Ada apa ayahnya menanyakan jadwal kerjanya?

"Aku tidak bisa pastikan. Kuliah dan pekerjaanku selalu tidak kenal waktu luang." Reginamemberi sinyal bahwa dia tidak akan punya waktu untuk hal lain selain dua hal tersebut.

"Sebaiknya kamu luangkan waktu dalam minggu ini," sahut ayahnya. Regina meneguk teh hingga selesai sebelum dia mempertanyakan tujuan ayahnya. Pasti akan ada kejutan buatnya lagi. Tidak. Jangan soal perjodohan itu lagi. "Apa maksud Papa?" tanya Regina sedikit tidak ramah.

"Papa dan Oom Fernando sudah sepakat, kalian akan dipertemukan Sabtu ini," kata ayahnya dengan sangat santai. Astaga. Regina merasa dadanya sakit, seperti habis menabrak mobil troton. Kepalanya pening. Dan amarah dalam dirinya mulai meletup-letup. Pagi-pagi ayahnya sudah merusak suasana hatinya.

"Aku sudah bilang, aku tidak menginginkan perjodohan ini," suara Regina bergetar dan matanya berkaca-kaca. Dia selalu menangis bila harus menahan marah¯hal yang paling memalukan sekaligus menjengkelkan buat dirinya.

"Setelah bertemu nanti, kamu baru boleh membuat keputusan. Mereka sudah pindah dari Amerika, kita tidak mungkin menolaknya."

"Papa menyuruhku untuk berpikir. Aku sudah memikirkannya semalaman. Dan jawabanku adalah tidak. Aku tidak akan menemui siapapun," ujarnya sambil menghentakkan kakinya.

"Bertemu saja apa susahnya," kata ayahnya sambil bangkit berdiri. Lalu sambil memandang Regina, dia berkata, "Dan kau, berhentilah bersikap kekanak-kanakan." Regina meringis kesal.

"Kalau begini aku tidak akan balik ke rumah!" seru Regina di punggung ayahnya yang beranjak pergi.

"Kakak," bisik Javier. Regina meliriknya sejenak. Dia berusaha menenangkan diri di hadapan kedua adiknya. Dia tidak ingin mereka mencontohi sikapnya.

"Kak, apa Kakak marah karena diminta menikah dengan anak Oom Ian?" tanya Javier dengan hati-hati. Regina tidak menjawab.

"Kenapa Kak? Bukankah Kakak dekat banget sama Oom Ian?" ujar Joshua.

"Jangan mencampuri urusanku," sahut Regina, tenang tapi tegas.

Javier dan Joshua saling memandang sejenak.

"Apa karena usianya lebih muda, Kak?" tanya Javier, tidak menyerah. Regina kembali melirik Javier. Dia selalu berusaha tidak menumpahkan kekesalannya pada orang lain. Dia terpaksa mengangguk saja, malas untuk menjelaskan lagi.

"Memang berapa sih usia anak itu?" Javier beralih ke Joshua. Kembarannya berpikir sejenak.

"Seumuran kita kali." Mendengarnya Regina langsung menoleh, kaget. Benarkah? Regina merasa syok. Gila. Benar-benar anak bau kencur, keluhnya dalam hati. Dia tidak berani membayangkan berjalan menuju altar dengan seorang bocah yang perilakunya seperti si Kembar terutama Joshua, genit, usil dan bau badannya tajam. Ih! Amit-amit.

"Tidak mungkin," potong Javier. "Dia kan sudah es-em-a. Masa umur empat belas tahun sudah es-em-a?"

"Bisa saja. Aku dengar dia anak yang jenius. Dan lagi pula di Amerika kan ada juga sistem akselerasi. Jadi mungkin saja, usia segitu sudah es-em-a."

"Benar juga." Javier berpikiran yang sama dengan kembarannya.

"Jadi, berapapun umurnya, semua sudah diwasiatkan. Kakak, kamu tidak bisa menolaknya." Joshua menatap serius ke arah Regina.

"Setuju. Lagi pula kasihan anak itu. Dia tidak punya siapa-siapa lagi."

"Dia memang tidak punya siapa-siapa, tapi dia punya apa-apa." Joshua melirik ke arah Javier sambil tertawa. Kembarannya ikutan tertawa. Regina melirik si kembar bergantian.

"Kalian pasti sudah tidak waras," ujarnya kesal. Dia buru-buru merapikan peralatan makannya dan pergi dengan perasaan dongkol. 

THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang