Kamis malam, Regina menghadiri pergelaran busana Chanel's Cruise di Loewen Cluster yang berlokasi di Dempsey Hill. Dia mengenakan mini dress dan sepatu clouchy boots dan berdandan sangat menawan. Dia duduk di sisi sayap kiri pintu keluar para model pada barisan kedua bersama dengan beberapa editor dari kantor cabang Singapura.
Peragaan busana diadakan di sebuah ruangan yang dulunya merupakan barak tentara Inggris. Tidak ada sentuhan modern, semuanya dibiarkan alami yang menampilkan suasana kolonial Inggris. Pergelaran busana ini menampilkan kehidupan glamor di jaman kolonial Inggris ketika menjadikan Singapura sebagai wilayah jajahannya.
Tepat jam tujuh malam, pergelaran busana dimulai. Pembukaan peragaan dimulai dengan kemunculan para model yang menampilkan koleksi pertama. Koleksi ini terinspirasi dari pakaian olah raga cricket yang pernah terkenal di kalangan kelas atas di abad ke tujuh belas. Seperti desain Chanel pada umumnya, warna hitam dan putih masih mendominasi koleksi tersebut, begitu juga dengan warna biru angkatan laut. Para model juga mengenakan perlengkapan olah raga cricket seperti knee-guards dan bats. Semua desainnya memang dikhususkan untuk kalangan berada.
Melihat beberapa model pria memperagakan busana, Regina teringat pada Kilian. Sebelum dia mengetahui Kilian adalah anak Adrian, dia terus mengira pemuda itu seorang model. Namun kenyataanya Kilian memiliki segalanya dibanding seorang supermodel dunia. Dia tampan, cerdas dan kaya.
Selesai peragaan, Regina mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai beberapa perancang muda Chanel – perancang busana maupun aksesoris, make-up artist, model dan selebriti dunia yang hadir pada malam pergelaran busana tersebut diantaranya para selebriti Korea Selatan seperti anggota Super Junior, Si Won. Regina tidak lupa meminta foto bersama Si Won dan tanda tangannya untuk dihadiahkan pada Anggia.
Ketika dia sedang menikmati makan malam bersama para undangan, ponsel pintarnya bergetar. Ayahnya yang menelepon, Regina bergegas pergi ke taman dan menjawab teleponnya.
"Halo," kata Regina berdebar.
"Apa yang kau katakan pada Oom Fenando?" Logat Flores Markus terdengar di seberang. Kebiasaan dalam keluarganya, jika marah, mereka memilih mengekspresikan dirinya dengan gaya daerahnya.
Regina panik. Ayahnya sudah mengetahui permasalahannya. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," kata Regina membela diri.
"Apa kau tidak bisa bersikap sopan sedikit di depan orang tua? Apa saya mengajarkan kau untuk bersikap seenaknya di depan orang lain? Jangan karena disayang, lantas kau besar kepala ya!"
"Bukan begitu Papa..."
"Selesaikan masalahnya, sekarang juga! Kalau tidak – kau mati dari saya!" bentak ayahnya membuat Regina langsung gemetar karena ketakutan. Seumur-umur dia belum pernah dimarahi ayahnya sehebat itu. Tapi kepanikkannya tidak membuatnya hilang harapan, bergegas dia pergi menemui Fernando di hotel Marriot.
Ketika dia tiba di sana, Kilian yang membukakannya pintu. Pemuda itu terkejut melihatnya.
"Selamat malam," kata Regina gugup. Mereka berdiri berhadapan. Hari itu Kilian berpakaian lebih santai. Dia mengenakan kaos oblong berwarna putih bergambar Einstein dan jeans berwarna gelap. Daya tariknya tetap tidak berkurang sedikit pun. Tapi Regina tidak ingin terpikat dengan pesonanya. Dia belum bisa melupakan kekesalannya. Dia memandang Kilian dengan acuh. Kilian membuka pintu lebar-lebar dan membiarkannya masuk.
Regina melangkah masuk dengan ragu-ragu. Dia mengamati sekelilingnya. Fernando dan Kilian menempati kamar paling mewah di hotel itu. Sungguh sebuah tempat yang terlalu mahal. Kenapa mereka tidak mencari apartemen saja. Orang kaya selalu tahu bagaimana cara mendapatkan uang dan menghabiskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)
AdventureKetika meninggalkan Amerika dan kembali ke Indonesia demi wasiat terakhir ayahnya, Kilian Humphrey, pemuda berusia tujuh belas tahun, berharap mendapatkan perlindungan dari seorang gadis bernama Regina Seda. Kilian diberkahi tiga hal: tampan, cerd...