Kilian berdiri di taman rumahnya dan memandang langit yang merah jingga. Los Angeles akan menjadi tempat terakhir baginya tinggal di Amerika. Malam nanti dia dan Fernando akan pergi ke Indonesia. Perasaan gembira dan sedih bercampur aduk dalam dirinya. Dia gembira karena akhirnya dia bisa mengunjungi negara tempat kediaman ayahnya, tapi juga sedih karena dia akan meninggalkan Amerika untuk selamanya. Apakah kelak dia diperbolehkan mengunjungi negara adi daya itu lagi? Rasanya sulit. Dia akan menikah. Kehidupannya akan berubah. Seperti kebanyakkan mereka yang telah menikah, kebebasan mereka telah tergadaikan. Selain itu, Fernando tidak akan menginjinkannya karena tanpa pengasuhnya, Kilian tidak bisa bebas berkeliaran. Dia harus berhati-hati. Hidupnya juga akan berubah. Akan ada orang baru dalam kehidupannya, karena itu dia harus ekstra hati-hati. Hati-hati dalam bersikap maupun dan bertindak. Setidaknya dia tidak boleh membahayakan kehidupan Regina. Teringat pada Regina. Kilian merasa tidak sabar ingin melihat langsung sosok gadis itu.
"Koko," suara Fernando membuyarkan lamunannya. Pemuda itu menoleh. Fernando tampak terburu-buru mendatanginya.
"Ada perubahan sedikit. Kita akan mampir ke Singapura sebelum ke Jakarta," kata Fernando langsung.
"Kenapa?" tanya Kilian dengan dahi berkerut. Untuk pertama kalinya dia tidak suka dengan perubahan yang mendadak. Ketidaksukaannya disebabkan perubahan tujuan mereka. Dia tidak ingin mampir kemana-mana, sebaliknya dia ingin segera tiba di Jakarta dan bertemu dengan Regina.
"Markus meminta pertemuannya dilakukan di Singapura. Regina mendadak ditugaskan ke sana. Papa pikir itu ide yang bagus. Kamu bisa mengenal kehidupan di negara Asia Tenggara, sebelum kamu benar-benar menginjakkan kaki di Jakarta. Karena iklim di kedua negara itu sama." Fernando sibuk menjelaskan tentang iklim di negara Asia Tenggara, tapi Kilian tidak menyimaknya dengan sungguh-sungguh. Dia justru memikirkan tentang Regina. Rasa ingin tahunya akan segera terjawab dengan pertemuan mereka di Singapura. Dia gembira dan juga tidak sabar.
Pada malam harinya Fernando terbang ke Asia Tenggara dengan menggunakan pesawat jet pribadi. Kilian tiba lebih dulu. Pemuda itu tidak memerlukan penerbangan. Dengan kemampuan teleportingnya dia berpindah dari rumahnya di Bernwood, Los Angeles ke salah satu kamar hotel berbintang di Singapura.
Kilian menempati salah satu kamar eksekutif yang memiliki private lounge. Seorang asisten Fernando sudah menunggunya. Pria itu hanya menemani Kilian sebentar kemudian dia pergi. Kilian seorang diri menikmati musik di kamar itu. Kamar yang ditempatinya tergolong mewah. Pemuda itu mencemaskan pilihan Fernando kali itu. Selama ini mereka berusaha tidak terlalu mencolok. Mereka jarang sekali menginap di hotel-hotel mewah. Semua itu untuk menghindari Insiders, karena para Insiders memiliki akses yang luas pada berbagai hotel ternama di seluruh dunia.
Setelah menunggu berjam-jam sendirian di kamar itu, Kilian mulai merasa jenuh. Dia hendak meninggalkan kamarnya dan pergi melihat-lihat suasana kota Singapura, tapi ketika matanya menangkap piano di ruang konferensi, niatnya tertunda. Segera pemuda itu memilih menghabiskan waktu dengan bermain piano. Lebih menyenangkan baginya bermain musik dari pada berkeliaran di luar sana dan bertemu dengan makhluk berdarah dingin. Fernando tak ada di dekatnya, dia tidak ingin membuat masalah.
Hampir menjelang malam ketika pesawat yang ditumpangi Fernando tiba di Singapura. Saat dalam perjalanannya menuju hotel Marriott yang terletak di kawasan Orchard Road, pria keturunan Portugis itu sempat menelepon salah seorang anak buahnya untuk memastikan keadaan Kilian. Semuanya aman terkendali. Fernando senang. Berada di Asia serasa berada di rumah sendiri. Mereka jauh lebih aman di sana ketimbang di Amerika. Setidaknya Insiders tidak berkeliaran begitu saja di negara-negara tropis. Terlalu beresiko berada di negara dengan sinar matahari yang banyak dan menyengat. Mereka tidak akan mau tubuhnya rusak oleh sengatan terik matahari.
Saat tiba di hotel tersebut, Fernando disambut langsung oleh sang manejer hotel. Pria itu mengantarnya hingga ke kamar eksekutif yang ditempati Fernando dan Kilian. Pemuda itu sedang membaca.
"Papa, apa tidak terlalu menyolok kita menempati kamar ini?" tanya Kilian saat mereka berdua saja di kamar.
"Tenang saja. Keamanan kita dijamin dengan baik," kata Fernando. Kemudian pria itu masuk ke kamar tidur. Kilian beralih dari buku bacaannya ke smartphone. Dia membuka Twitter melihat-lihat tweet baru Regina. Belum ada tanda-tanda gadis itu akan ke Singapura. Benarkah mereka akan bertemu di negeri Paman Lee itu? Kilian bertanya-tanya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)
PrzygodoweKetika meninggalkan Amerika dan kembali ke Indonesia demi wasiat terakhir ayahnya, Kilian Humphrey, pemuda berusia tujuh belas tahun, berharap mendapatkan perlindungan dari seorang gadis bernama Regina Seda. Kilian diberkahi tiga hal: tampan, cerd...