Selepas kuliah, Regina pergi ke kantornya di gedung Menara Thamrin. Setiap hari Regina selalu menyempatkan diri mampir ke kantor. Walau hanya bekerja sebagai pekerja freelance, tapi Regina senang sekali mengunjungi kantornya. Dia biasa datang untuk membantu pekerjaan beberapa editor. Hitung-hitung belajar, begitu pemikirannya. Apalagi Regina memiliki kemampuan menulis yang baik.
"Wah – kebetulan kamu datang, Regina. Miranda mencarimu," ujar Anggia dengan wajah serius, saat Regina muncul di ruang editor.
"Iya, Gia?" kata Regina was-was. Anggia mengangguk kuat tapi kemudian dia tertawa, saat mendapati wajah Regina yang cemas.
"Tenang saja. Tidak ada masalah gawat," katanya. Anggia memang suka mengerjain teman-temannya kalau Miranda, pemimpin redaksi mereka¯memanggil.
Sebagai pemimpin, Miranda Lumongga dikenal sebagai boss yang tegas dan disiplin. Dia juga orang yang perfeksionis. Semua pekerjaan diawasi dengan baik. Karena itu, Regina merasa was-was. Dia takut ada kesalahan dalam pekerjaannya. Selama bekerja di majalah tersebut, Regina hanya bertemu dengan
Miranda di waktu rapat, itu pun hanya sesekali¯mengingat Regina hanya tenaga freelance. Pertemuan pribadi hanya terjadi di awal pertama dia melamar kerja. Kesan pertama ketika di wawancara oleh Miranda begitu membekas. Miranda sangat fasih dalam bahasa Inggris. Dia bicara dengan aksen Amerika dan selalu mengejar-ngejar pelamar dengan pertanyaan. Awalnya Regina merasa Miranda terkesan angkuh, tapi kemudian dia mengerti wanita itu mencintai pekerjaannya dan dia ingin bekerja dengan orang-orang yang juga mencintai pekerjaan mereka. Saat itu Regina sangat percaya diri dalam menjawab pertanyaan Miranda, meskipun itu adalah wawancara kerjanya yang pertama. Demi impiannya, Regina telah banyak berlatih dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Regina kemudian pergi ke ruang pemimpin redaksi. Dia berharap tidak ada lagi persoalan yang membuatnya pusing. Cukup sudah masalah perjodohannya merusak suasana hatinya hari itu.
Begitu tiba, Regina langsung disambut Jennifer, asisten Miranda. Dia menyambut Regina dengan membukakan pintu. "Langsung saja, Mbak. Sudah ditunggu sama Ibu," katanya. Regina mengangguk ramah. Tangannya langsung berkeringat dingin begitu dia melangkah masuk di ruang yang berdesign elegan. Regina mendapati Miranda sedang menekuni tumpukan kertas di meja. Wanita berusia awal empat puluhan itu juga terkenal sangat teliti, cerdas dan kritis. Dia menengadah begitu menyadari kehadiran Regina.
"Kamu baru dari kampus?" katanya. Regina mengangguk ramah sambil mengambil tempat di seberang mejanya. Miranda sedang memeriksa layout halaman-halaman sebelum diterbitkan dua minggu lagi.
"Aku mau minta bantuanmu," katanya sambil menatap lurus Regina. Lagi-lagi Regina mengangguk ramah. "Mulai hari ini Eksi akan cuti melahirkan, karena itu untuk sementara aku minta kamu menggantikan tugas-tugas liputannya," kata wanita berdarah Batak itu. Miranda suka sekali berbicara blak-blakkan. Dia tidak suka bicara berbelit-belit, seperti kebanyakkan orang di Indonesia.
"Iya," sahut Regina pelan.
"Aku butuh kamu untuk meliput Channel's Cruise fashion show di Singapura selama seminggu. Kira-kira kamu punya waktu minggu depan?" katanya tenang.
Regina tercengang. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Ke Singapura?" gumam Regina.
"Apa kamu tidak bisa?"
"Bisa!" jawab Regina cepat. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Ini liputan luar negerinya yang pertama. Dan itu membuatnya merasa melayang seperti mimpi. Ini berita baik. Sangat baik¯meski dia harus meninggalkan kuliah selama seminggu.
"Aku menilai pekerjaanmu selama ini sangat baik. Tulisan-tulisanmu selalu menarik dan berbeda. Karena itu aku memutuskan untuk memberimu kesempatan. Memang bukan ide yang baik untuk meninggalkan kuliah selama seminggu, tapi ini kesempatan emas," kata Miranda seolah-olah bisa membaca pikiran Regina. "Kamu akan bertemu orang-orang penting di sana. Saranku, jangan sia-siakan kesempatan ini. Pergunakan sebaik-baiknya. Ciptakan kesan yang baik, siapa tahu kamu akan mendapat kesempatan berkerja di luar."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)
AdventureKetika meninggalkan Amerika dan kembali ke Indonesia demi wasiat terakhir ayahnya, Kilian Humphrey, pemuda berusia tujuh belas tahun, berharap mendapatkan perlindungan dari seorang gadis bernama Regina Seda. Kilian diberkahi tiga hal: tampan, cerd...