21

1.8K 121 0
                                    

Di dalam pesawat, ternyata Regina mendapatkan tempat duduk yang terpisah dari ketiga orang sahabatnya. Dia duduk di dekat jendela, di kanannya duduk dua orang bapak. Saat pesawat sudah mengudara, Regina memanfaatkan waktu satu setengah jam penerbangan itu dengan melanjutkan tidurnya yang tertunda. Dia baru terbangun ketika pesawat sudah melintasi di atas perairan Sumatera, tepatnya di atas kepulauan Riau.

"Wah―bagus sekali," katanya saat menengok pemandangan ke bawah lewat jendela. Terdapat gugusan beberapa pulau-pulau kecil. Garis pantainya yang putih terlihat jelas dari pesawat. Indah.

"Baru pertama kali ke Singapura?" tanya bapak yang duduk di sebelahnya. Regina mengangguk cepat. Bapak itu berusia sekitar awal lima puluhan. Wajahnya ganteng dan tampak terpelajar. Regina menebak dia pasti seorang pengusaha atau akademis.

"Pulau-pulau itu punya Indonesia," katanya.

"Oh ya?" kata Regina terkejut. Tadinya dia sempat berpikir gugusan pulau itu adalah wilayah Singapura atau Malaysia.

"Jadi itu masih wilayah Indonesia?" tanyanya tanpa malu-malu.

"Iya. Semua pulau itu punya Indonesia," kata bapak itu dengan penuh semangat. Sepertinya dia senang melihat keterkejutan Regina.

"Indonesia kan luas. Singapura tidak ada apa-apanya dibanding negara kita. Cuma sebuah pulau kecil."

Regina mengangguk-angguk.

"Negara kita ini sangat luas. Dan kaya. Tidak heran, banyak pulau kita yang ingin dicaplok oleh negara tetangga."

Regina kembali mengangguk-angguk, setuju. Dia pernah mendengar berita tentang pulau Indonesia yang diklaim oleh Malaysia sebagai miliknya. Tidak hanya pulau, tapi juga beberapa budaya Indonesia seperti tarian dan makanan khas juga diklaim sebagai budaya mereka. Karena itulah, Regina merasa sangat membenci negara itu. Memang tidak pernah dia katakan pada siapapun, tapi dalam hatinya dia berjanji untuk tidak akan pernah menginjakkan kakinya di negeri jiran itu.

"Bapak, sudah sering ke Singapura?" tanya Regina.

"Iya. Kali ini saya mau liburan bersama anak-anak," katanya sambil menunjuk anak-anaknya yang duduk di barisan sebelah. Lalu bapak itu mulai menceritakan tentang pengalamannya ke beberapa negara. Dan dia selalu membanggakan Indonesia setiap kali dia membandingkannya dengan negara lain. Dada Regina terasa hangat mendengarnya. Dia bahagia menemukan ada orang yang begitu mencintai Indonesia. Diam-diam dia menyesali pikirannya tadi di bandara Soetta―dia sempat meragukan masa depan bangsanya, hanya karena layanan imigrasi yang buruk. Regina melirik wajah bapak itu sejenak. Dia ingin mengingatnya, agar kelak ketika dia masih mengeluhkan kehidupan di Indonesia, dia akan teringat pada kata-kata bapak tersebut; bahwa Indonesia adalah sebuah anugerah Tuhan. Tidak ada duanya di dunia. Negara yang luas dan kaya akan segala-galanya. Dia ingin seperti bapak itu mencintai dan bangga dengan tanah airnya. Dan Regina terus menikmati cerita bapak tersebut hingga pesawat akhirnya mendarat.

Pesawat mendarat di bandara Changi international tepat pukul 08.30. Cuaca di sekitar bandara sedikit mendung dengan suhu sekitar 29°C. Regina masih ingin mendengarkan cerita bapak itu, tapi dia harus bergegas turun mengikuti teman-temannya. Dia sempatkan diri berpamitan pada bapak itu dan mengucapkan terima kasih untuk pelajaran hidup yang berharga. Wajah bapak itu tampak bahagia ketika Regina mengucapkan terima kasih. Roma bahagia seperti seorang bapak yang melihat anaknya berhasil diwisudakan dengan predikat cum laude.

Di bandara, tepatnya di terminal satu, tidak tampak kesibukan. Namun beberapa stand makanan ringan dan toko buku sudah beroperasi. Keluar dari pintu kedatangan, Susie dengan kebiasaannya langsung menuju ke toilet. Teman-temannya juga mengikutinya. Regina membasuh wajahnya yang terlihat kantuk. Kemudian merapikan anak rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu dia dan bersama teman-temannya menuju bagian imigrasi. Jessica yang menjadi penunjuk jalan. Diantara mereka, hanya Jessica yang sudah sering ke negara itu. Bahkan keluarganya juga memiliki sebuah apartemen di Singapura, yang khusus dijadikan sebagai tempat mereka menginap, setiap kali berlibur.

Di bagian imigrasi terdapat beberapa counter berjejer. Mungkin ada sekitar sepuluh counter yang berjejer mengikuti luasnya area tersebut. Suasana juga tampak sepi. Hanya beberapa penumpang yang mengantri. Antrian di Singapura tidak pernah lama karena keefisienan dan kecepatan pelayanan walaupun sebagai salah satu bandara tersibuk di Asia. Petugas imigrasi – seorang wanita langsing keturunan India melayaninya dengan ramah. Wanita itu terus mencuri pandang pada Regina.

"From Indonesia?"

"Yes."

"You look like an American."

Regina tersenyum. Dia sering mendengar hal tersebut saat dia kursus menulis di London dan New York. Bentuk wajah dan warna kulit Regina yang cokelat selalu membuat orang-orang di sana berpikir kalau dirinya warga Amerika keturunan Afrika.

"What do you do?"

"I'm a journalist."

"I see," kata petugas itu sambil tersenyum ramah. Kemudian dia mengembalikan passport Regina sambil meletakkan sebuah majalah di hadapan Regina.

"You look like her," katanya sambil menunjuk cover sebuah majalah fashion. Regina menengok sejenak cover majalah tersebut. Wajah Chanel Iman, seorang super model Amerika, terpampang di sana.

"Thank you," kata Regina sambil tersenyum. Setelah mengambil passportnya, Regina mengucapkan terima kasih dan bergegas pergi. Dia menunggu teman-temannya sebentar di dekat bagian pengambilan bagasi. Tak lama teman-temannya juga sudah menyusul.

"Kenapa lo tadi?" kata Tanzila penasaran.

"Oh―itu. Dia kira gua model," sahut Regina.

"Apa?! Model?" kata Tanzila sambil memandang Regina dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

"Kenapa? Nggak layak?" tanya Regina, curiga dengan cara Tanzila mengamatinya.

"Layak kog. Tapi...hidung pesek gitu, apa bisa?" kata Tanzila becanda sambil tertawa.

"Woi―ngaca. Hidung lo juga nggak lebih mancung dari gua kan?" sahut Regina sambil memencet hidung Tanzila. Sahabatnya buru-buru menepis.

"Dah―sesama pesek, jangan saling menghina," kata Susie. Regina dan Tanzila mengangguk setuju sambil tertawa nyengir.

"Terus―ada apa di majalah tadi?" tanya Jessica.

"Dia nunjukin foto seorang super model Afro Amerika. Kata petugas tadi wajah gua mirip dia," jelas Regina.

"Siapa tuh?" sela Tanzila cepat penasaran.

"Bukan siapa-siapa," sahut Regina tidak berminat membahasnya. Tapi ketiga temannya memandang Regina lebih seksama. Gadis itu memang memiliki semua yang dipersyaratkan seorang super model. Tinggi 178cm, berat 56 kg dengan ukuran sempurna 34-24-35. Dengan bentuk tubuh yang sangat ideal dan kecantikkan Regina yang alami, teman-temannya selalu berpikir Regina lebih pantas menjadi seorang model bukannya menjadi jurnalis fashion. Langkahnya yang anggun dan senyumnya yang menawan selalu bisa menyihir setiap pria dan membuat banyak gadis iri padanya. Tapi, entah kenapa, bagi ketiga sahabatnya, Regina selalu terkesan tidak bersemangat membicarakan kecantikan yang dia miliki, seolah-olah itu sebuah kutukan dan bukannya anugerah. Mereka juga tidak mengerti mengapa gadis itu justru selalu terkesan rendah diri bukan sebaliknya.

Dalam perjalanan menuju hotel, Regina mengaktifkan smart phonenya. Beberapa pesan messenger masuk, tapi tidak ada pesan penting hanya beberapa pesan broadcast. Tidak ada pesan dari orang tuanya juga.

THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang