Lembaran Kedelapan Belas

4.5K 611 231
                                    

"Anda melupakan keluarga kami dan bertingkah seolah-olah kami dapat menerima semua perlakuan yang telah Anda lakukan."

"Perlakuan apa? Kami bahkan tidak melakukan apa-apa, Siwan-ssi."

Lelaki itu tertawa mengejek sebelum mengatupkan kembali mulutnya dan meremat jari-jemari sendiri dengan geram.

"Jika yang Anda maksud adalah uang tunjangan, stop berbicara omong kosong dan beritahu kami berapa nominal yang Anda inginkan."

Siwan menutup matanya, mendengus tertahan lantas menghembuskan napas kasar, "bagaimana dengan posisi penting di istana? Aku berhak untuk itu, bukan?"

Seringaian terbentuk oleh bibirnya yang tebal dan sedikit kering, menyempurnakan raut wajahnya yang di mata Donghae tampak seperti sebuah ekspresi penuh ambisi yang memuakkan. Kalau pria itu berniat untuk membuatnya mengepalkan tinju dan mendaratkan kepalan tinju ke wajahnya, maka sejujurnya, pria itu berhasil.

Dengan wajah tanpa minat, Donghae mengangguk kecil lantas menghembuskan napas pelan.

"Kalau itu maumu, aku akan menyerahkan ini kepada Penasihat Park."

Yang disebut namanya sontak terbelalak tak percaya, apalagi setelah ia mendapati tatapan kosong milik rajanya.

"Kau boleh memilikinya.... tanpa membahayakan siapapun,

terutama Jeno."



----



Jeno menatap langit-langit kamarnya dengan pikiran berkecamuk, kecamuk pikiran yang sama yang membentuk simpul rumit dalam otaknya selama lebih dari satu malam ini. Ia membalikkan tubuhnya ke kanan, menenggelamkan wajah pada bantalnya yang harum dan hangat. Sebuah kencan musim semi terlintas dalam kepalanya, begitu tiba-tiba dan tanpa terduga. Ada beragam macam bunga yang tak Jeno ketahui namanya dengan warna mencolok yang mendampingi warna hijau rumput; kuning, biru langit, ungu, merah.

Ia lalu berbalik ke kiri, mencoba menghilangkan pikiran tak masuk akalnya. Ini bulan Desember, tidak ada musim semi ataupun bunga yang mekar dengan warnanya yang indah. Yang ada hanya salju putih yang dingin. Salju putih yang mematikan semua warna hangat dalam bayangannya. Salju putih yang menemaninya dalam kehampaan dan kedinginan yang sama.

Ia lantas berbalik lagi, kembali terlentang dan memandangi lampu gantung kamarnya yang sampai sekarang tak dapat ia deskripsikan sebagai bentuk apa. Waktu ia menutup mata dan membiarkan bias cahaya dari lampunya masuk dalam pengelolaan lensa matanya, sebuah bayangan kembali terbentuk dalam otaknya. Kali ini lebih liar dan sanggup membuat dahinya berkeringat dingin.

Sebuah pergulatan panas di alam liar, di musim dingin yang putih dan hampa.

Jeno berjalan seperti orang kesetanan di sepanjang lorong istana. Sudah ada dua pelayan yang bertabrakan langkah dengannya, yang akhirnya membungkuk takut karena merasa bersalah. Tapi Jeno tak memiliki waktu untuk memarahi mereka. Sebuah berkat di hari sabtu pagi untuk para pelayan yang biasanya mendapat masalah dari si pangeran besar, minimal di maki-maki.

Lelaki itu menggedor-gedor pintu kamar di depannya dengan tidak santai. Beberapa pelayan di sekitarnya sedikit mendongak-dongak penasaran, ingin tahu apa sekiranya yang membuat si Pangeran Besar tampak begitu terobsesi dengan kamar istrinya yang masih tertutup rapat. Beberapa pelayan yang tadi sempat mengintip langsung memalingkan wajah saat Renjun ke luar dari sana, dengan raut panik akibat gedoran kasar di pintunya.

"Jeno-ssi...."

Tanpa kata Jeno menarik tangan itu lantas membawa pemiliknya dengan langkah tergesa, membelah koridor istana yang panjang dan bergema saat langkah-langkah mereka terus mencumbui lantai marmer di bawahnya. Renjun baru benar-benar bisa bernapas dengan baik saat pohon-pohon ek yang tinggi di kebun istana tervisualisasikan nyata di hadapannya. Lelaki manis itu hendak bertanya, tapi Jeno sudah kembali memimpin jalan, kali ini dengan lebih tenang.

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang