Lembaran Kedua Puluh Tiga

3.2K 391 85
                                    

Siwan mengamati ruang pertemuan dari muka pintu dan mendapati fakta bahwa kursi-kursi yang dibuat sejajar lurus membentuk huruf 'U' itu telah diisi oleh nyaris dua pertiga peserta rapat. Tak butuh waktu lama untuk matanya menangkap satu objek menarik dari banyaknya peserta yang memakai seragam resmi kerajaan, terduduk diam di kursi yang jajarannya berada dekat dengan kursi kebesaran sang raja. Senyuman miring lantas menyertai langkahnya yang mulai bergegas, memanfaatkan situasi sebaik yang ia bisa sebagaimana prinsipnya selama ini.

Sang pewaris takhta adalah seseorang yang tak pernah ia jadikan target kunci atas rencananya, tidak karena ia bahkan jarang sekali mendengar bagaimana kinerja dari pemuda dua puluh tahunan yang tampaknya selama ini selalu bersembunyi di balik istananya yang mewah dan megah. Namun pengamatan diam-diamnya dalam mengatur strategi lantas membawanya pada langkah ini, mendekati sang putra mahkota yang tampak lemah dan mudah sekali ditaklukan dalam sekali hantam.

Siwan menghela napas berat. Tangannya yang sedari tadi berada dalam saku jasnya kini ia tarik untuk menyajikannya sebuah kalung rosario dengan salib berbahan perak yang mengkilat. Ia meremat itu dan mulai berdoa.

"Tuhan akan selalu bersamaku."

"Selamat pagi, Yang Mulia...."

Yang disapa dengan penuh hormat itu sontak mendongak, memberi Siwan tatapan waspada yang tajam dan tak bersahabat. Barangkali benar apa kata orang-orang bahwa pangeran calon penerus tahta ini memang memiliki masalah dalam bersikap, terutama kepada orang asing layaknya seorang anak kecil.

Siwan diam-diam mendengus geli, menertawakan kualifikasi dari calon raja negeri ini.

"Anda terlihat cemas. Apakah rapat pagi ini mengganggumu?"

"Kau siapa?"

"Aku staff baru, Im Siwan."

Jeno masih memasang wajah dingin. Ia mengalihkan tatapannya dari tangan Siwan yang terulur, mempertimbangkan bahwa ia tak perlu membalas jabatan tangan itu, "kau tak memiliki kewajiban untuk berjabat tangan denganku,

dan aku tak suka berjabat tangan."

Senyum simpul muncul di wajah staff tampan itu, guratnya masih terlihat lembut dan bersahabat. Matanya lantas bergerak cepat saat menyadari ada pergerakan tak biasa dari si pangeran, dan itu terletak pada telapak tangannya yang sedari tadi ia sembunyikan di balik pangkuannya.

Telapak tangan berwarna pucat dengan urat-urat biru yang tampak menonjol itu mungkin terlihat biasa bagi orang-orang yang tak menaruh perhatian lebih padanya, namun tidak bagi Siwan. Ia tahu bahwa ada yang berusaha Jeno sembunyikan di sana, mungkin sesuatu yang bahkan ia sendiri tak sadari. Salah satu dari jari-jari panjang itu tampak bengkok dan tak simetris, terlihat sedikit mengerikan dengan warnanya yang pucat dan kadangkala seperti tampak tanpa darah. Orang-orang tak bercanda saat mengatakan bahwa pangeran negeri ini memang berbeda dengan auranya yang tak biasa; ia sedikit tampak seperti monster.

Monster tampan yang menyedihkan.

"Kalau begitu mulai sekarang cobalah berjabat tangan sekali saja denganku. Kita akan jadi teman."

Namun Siwan tahu, bukan hal yang sulit untuk menaklukan monster ini. Jeno tak memiliki kekuatan sama sekali kecuali kemampuannya dalam menggertak orang lain.

"Kau juga rajin ke Gereja, kan? Kita akan jadi teman Gereja yang akrab."

Gereja menjadi satu kata yang membawa otak Siwan pada penyuguhan sosok seseorang. Seorang gadis cantik di masa berpuluh-puluh tahun silam. Gadis cantik yang selalu menundukkan kepalanya dalam doa, memahkotai surai indahnya dengan mantilla. Gadis kecil kesayangan Tuhan--begitu katanya dulu--yang akhir hidupnya harus tertulis dalam lembar tragis.

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang