Renjun tidak pernah menyangka bahwa tugas perdana istana akan sebegini menggairahkannya. Ia bertemu banyak orang, banyak media, banyak sambutan, dan banyak penghormatan. Seumur hidupnya, Renjun tidak pernah membayangkan bahwa ia akan ada di depan massa, menjadi pusat intensi semua orang yang mengelilinginya.
Namun meski begitu, ia tak dapat memungkiri bahwa matanya sedari tadi hanya terpaku pada sosok yang tengah berdiri di tengah kerumunan para paruh baya renta, melayani mereka layaknya seorang gentleman dari abad sembilan belas era Victoria. Bisik-bisik ia dengar, bahwa katanya si lelaki dengan manner menyentuh hati ini adalah mahasiswa kedokteran yang datang dari universitas ternama di Amerika.
"Aku Guanlin, Lai Guanlin." Kenalnya, dengan senyum tipis yang manis. Lelaki yang tampak masih sangat muda itu lantas memimpin jalan dengan penuh wibawa, membawa serta langkah Renjun untuk ikut mengelilingi panti pensiunan yang menjadi kunjungan istana. Guanlin tampak begitu lugas dan tenang, seolah sudah begitu familier dengan detail tempatnya.
"Aku sering berkunjung ke sini jika punya waktu senggang di tengah jadwal kuliah."
"Apakah ini ada kaitannya dengan kuliahmu, barangkali?"
Lelaki dengan fitur tinggi dan wajah kecil itu menggeleng sembari terkekeh, "tidak, Ayahku menjadi donatur tetap yayasan. Beliau seorang direktur di rumah sakit jantung Incheon."
Renjun mengangguk samar, menyembunyikan keterkaguman. Entah mengapa ia jadi merasa kecil untuk bersanding dengan teman--yang mungkin--seusianya ini, yang sepertinya tampak akan memiliki karir cemerlang.
"Aku akan sesekali datang sebagai volunteer di tiap libur musim panas. Aku suka menulis jurnal dan memublikasikannya di situs resmi kampus."
"Uhm ya.... itu untuk tugas Anda?"
Guanlin mengangguk ragu. Satu senyum hangat muncul di wajahnya yang mungil, "sebenarnya itu lebih dari tugas. Aku memang memiliki ketertarikan terhadap ilmu gerontologi. Anda tahu? Anak-anak muda seusia kita biasanya tidak menaruh sama sekali minat terhadap hal-hal yang berbau orang tua."
Penjelasan itu membuat Renjun sejenak hening, meresapi kata-kata dengan muatan istilah asing yang sebelumnya tak pernah sampai ke telinga. Ia tersenyum malu saat Guanlin menyunggingkan senyum maklum--menyadari kebingungannya terhadap istilah yang ia gunakan untuk menjelaskan minatnya barusan.
"Aku belum pernah mendengar istilah itu, tapi benar katamu, perhatian para kaum terpelajar muda terhadap perawatan orang lanjut usia masih cukup minim.
Dan aku sangat kagum terhadap minat Anda, Guanlin-ssi."
Mereka berjalan menyusuri lorong ruangan dengan media yang terus mengekori dari belakang. Dua orang kepala yayasan turut mendampingi tur yang dilakukan sembari menjelaskan bagaimana keseharian para lansia di tempat ini, baik kepada Renjun, maupun kepada Guanlin yang sejak tadi tampak serius mencermati keadaan serta mendengarkan penjelasan. Lelaki itu benar-benar seperti gambaran seorang murid teladan yang ambisius juga pintar. Di detik saat otaknya sibuk menganalogikan seorang Lai Guanlin, bayangan suaminya tiba-tiba muncul begitu saja. Jeno yang dikomparasikan dengan Guanlin mungkin akan cocok untuk menggambarkan seorang murid yang berkebalikan--masa bodoh dan selalu menghindari jam pelajaran.
Satu senyum tipis muncul kala dirinya sadar bahwa ia tengah memikirkan Jeno sekarang--bocah tujuh tahunnya yang kekanakan dan hobi marah-marah. Renjun jadi bertanya-tanya, bagaimana Jeno dengan tugas perdananya di sana? Apakah ia baik-baik saja?
Sementara otaknya bercabang mengimajinasikan banyak hal, sosok Guanlin kini sudah berdiri di hadapannya dengan tangan terulur. Senyum ramah masih bertengger di wajahnya yang tampan, menyuguhi sang menantu kerajaan di depannya sebaik yang ia bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!