"Aku tidak akan ke mana-mana...."
Saat kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam benak, Jeno tahu bahwa ia sedikitnya telah kehilangan separuh dari kewarasannya.
"Aku butuh tempat tinggal baru untuk ditinggali dengan Renjun, Ayah."
Kewarasan yang membuatnya kini dengan lantang menyatakan satu pertanyaan yang bahkan tak pernah menjadi substansi pertimbangan hidupnya selama ini.
Acara sarapan bersama pagi itu sontak menghening, dan Jeno tidak kaget untuk itu. Ia juga tidak akan kaget jika setelahnya sang ayah akan menggebrak meja dan menentang keinginannya sembari memakinya habis-habisan dengan wajah wajah penuh amarah. Jeno tidak akan kaget, ia sudah terbiasa dengan itu.
"Apa maksudmu?"
Tapi lantas, ketidak-kagetan Jeno berubah haluan. Nada datar dalam suara sang ayah yang kini menatapnya dengan tatapan tanpa minat itu justru menciptakan rasa terkejut tersendiri yang tak ia antisipasi.
Ayahnya tidak marah, atau setidaknya, begitulah menurut Jeno.
"Sesuai perjanjian bahwa setelah menikah aku dan istriku akan dipindahkan ke pondok lain di istana. Ini sudah hampir enam bulan sejak aku dan Renjun menikah."
"Apa yang membuatmu tiba-tiba memintanya?"
Semua mata seolah langsung menghujaninya dengan tatapan mereka, tak terkecuali Renjun yang tampak menegang duduk di sampingnya. Jeno yang tak ingin menyerah pada ucapan awalnya itu mengeratkan genggamannya pada sendok makan, menghela napas berat lantas menatap sang ayah dengan berani.
"Aku sudah membicarakan ini dengan Renjun--kami akan membentuk keluarga.
Kami juga mungkin akan memiliki anak jadi--"
"Kau sudah memiliki Pangeran Jisung."
"Tapi aku masih menginginkan anak-anak yang lainnya."
Di tempatnya saat ini, tubuh Renjun rasanya seperti tengah ditenggelamkan dalam kubangan es yang suhunya berminus-minus dinginnya. Dapat ia rasakan tangannya yang dingin juga berkeringat, bergetar hebat saat si tuan besar menatapnya dengan tajam dari singgasana makannya sekarang.
Ini terlalu mengejutkan untuknya. Apa yang Jeno katakan barusan benar-benar di luar dugaannya. Mereka memang menghabiskan malam bersama, tapi tanpa sedikitpun obrolan mendalam tentang tinggal bersama dan--apalagi anak. Mereka bahkan sepakat bahwa itu akan menjadi malam terakhir mereka berbaring di satu ranjang yang sama.
Tapi Jeno tetaplah Jeno, si Pangeran dingin dan angkuh yang kerap kali susah ditebak dan penuh kejutan.
"Aku tahu bahwa apa yang terjadi akhir-akhir ini mungkin membuat istana sedikit ribut. Karenanya aku ingin bertanggung jawab terhadap kemungkinan yang terjadi setelah ini."
Dalam jeda ucapannya Jeno menarik bibir membentuk seringaian santai, "Renjun bisa saja hamil, dan itu pasti akan semakin membuat keributan di sini kan, Ayah?"
Pipi Renjun terasa panas, jantungnya semakin berpacu dalam tempo cepat. Sebagian perhatian orang-orang istana dalam meja makan ini mulai teralih ke arahnya, menatapnya dengan seksama. Beberapa dari mereka mungkin mulai menerka-nerka, melakukan scanning pada tubuhnya yang bagi Renjun seolah tengah menciut saking takut, memastikan apakah ada perubahan yang menandai kehamilan dari istri si pangeran.
Sementara Jeno yang membuatnya tak dapat berkutik setengah mati itu masih betah menampilkan seringaiannya kepada sang ayah yang masih tampak tenang. Sesuatu yang cukup menantang bagi Jeno untuk terus menyulut sumbu pria paruh baya itu.
"Melakukan hubungan satu kali seperti itu tidak akan membuat istrimu hamil."
"Justru itu, kalau aku bersama Renjun memiliki pondok sendiri, kami akan terus melakukannya sampai Renjun hamil."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!