"Dapatkah kita menghabiskan satu malam lagi?
Ini yang terakhir, aku janji."
Saat mengatakan kalimat pinta itu, Jeno tidak yakin apa yang tengah merasuki dirinya. Tapi saat akhirnya mereka kembali berbagi udara di ruangan yang sama, Jeno tahu bahwa itu tidaklah berarti apa-apa.
Mereka berbaring di satu ranjang yang sama, kaku dan tanpa suara. Renjun tampak canggung dan enggan terlibat pembicaraan dengannya. Lelaki berstatus sebagai istrinya itu sedari tadi fokus pada buku di tangannya, sesekali mengecek Jisung yang ikut bersama sang ibu untuk bermalam di kamar ayahnya. Mereka tampak seperti dua orang yang terpisah di dimensi dunia yang berbeda meski sejatinya tengah berada di satu ruangan yang sama sekarang. Jeno tak mempermasalahkannya. Tidak, ia bahkan tidak peduli sama sekali.
Jarum jam masih merangkak malas menuju angka sembilan saat ia berusaha untuk pergi ke alam bawah sadarnya, menenggelamkan diri pada bunga tidur yang ia harap akan indah. Jeno memunggungi Renjun yang baru kembali dari kamar mandi. Lelaki itu tampaknya baru saja menyelesaikan ritual malamnya sebelum tidur. Dapat ia rasakan ranjang yang sedikit bergetar saat istrinya itu menduduki ujungnya.
"Kamu sudah tidur?"
Jeno tidak menjawabnya, meski ia juga merasa bahwa Renjun tahu ia belum tidur. Pria itu yakin bahwa kemungkinan besar Renjun akan terus menanyainya pertanyaan-pertanyaan yang cenderung retoris dan tidak penting, kadang juga sedikit mengganggu. Tapi entah mengapa Jeno menunggu itu sekarang. Hebatnya lagi, ia merasa sedikit kecewa saat hanya ada kebisuan di antara mereka setelahnya, tanpa pertanyaan susulan yang seolah ia nanti sejak tadi.
"Apa masalah yang kau dapatkan setelah malam kemarin?"
Renjun akan berbaring saat suara dingin Jeno menyapa gendang telinganya. Pria itu sudah berbalik menghadapnya, memandangnya dengan tatapan datar tanpa minat.
"Apakah sudah ada peringatan resmi yang diturunkan kepadamu?"
Pertanyaan itu, sejujurnya adalah pertanyaan yang ingin sekali Renjun bahas. Bagaimanapun mereka berdua--ia dan Jeno--telah terlibat dalam sebuah malam panjang yang sakral, yang pada akhirnya menimbulkan bumerang bagi mereka berdua. Apa yang mereka lakukan malam ini juga bisa jadi akan menjadi sebuah substansi masalah yang akan dibahas istana keesokan harinya. Para pelayan mungkin akan kembali menganga kaget saat mendapati dirinya yang keluar dari kamar si pangeran, mungkin juga akan kembali memeriksa seprai ranjang dan memastikan bahwa tidak ada cairan biologis yang mengotorinya.
Renjun menghela napas, "Hanya Ratu yang berbicara kepadaku."
"Apa yang dikatakannya?"
Jeno memaku Renjun dalam tatapannya yang tajam, mengintimidasi istrinya yang kini tampak gugup dan sungkan. Pria itu lantas terkekeh kecil saat meyakini bahwa tak akan ada sepatah kata yang keluar dari mulut sang istri.
"Sekarang kamu tahu bagaimana aneh dan tidak masuk akalnya orang-orang di sini."
Setelah berkata begitu Jeno kembali berbaring dan membalikkan tubuh membelakangi Renjun yang masih menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Pria itu akan menarik selimutnya saat suara Renjun kembali bergema.
"Apakah kamu merasa sendirian?"
Lelaki Huang itu bertanya dengan lirih, memastikan seksama punggung suaminya yang membelakanginya.
"Sejujurnya aku tidak mengerti dan sulit memahami orang-orang di sini.
Dan aku merasa sendirian karena itu."
Renjun kembali menghela napas berat. Ia menyerah untuk menunggu tanggapan suaminya, karena memang bukan itu yang ia inginkan dari pernyataannya tadi. Renjun hanya butuh teman bicara, atau sederhananya lagi, seseorang yang dapat mendengar problematika krusialnya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!