Mempertahankan tahta dan istana adalah dua substansi terberat yang membebani hidupnya selama ini, selama lebih dari setengah abad ini. Donghae mengakuinya, dan ia benar-benar memahami itu.
Berjalan-jalan menyusuri istana dingin menjadi sesuatu yang tidak seharusnya ia lakukan sekarang. Memandangi satu persatu guci berisi abu dari para tubuh yang ditinggalkan jiwanya, menelisik satu persatu nama yang tertera di sana beserta gelar kehormatan mereka, membayangkan bagaimana rasanya saat jiwa yang terbelenggu dalam tubuh penuh nestapa ini akhirnya bebas dan lepas dari beratnya beban dunia, bebas dari kesusahan yang terus melanda dan menjerat jiwa.
Langkah kakinya yang perlahan dan penuh kehati-hatian terhenti di ujung jajaran lemari abu kremasi, tepat terhenti di depan laci terakhir yang diisi oleh jasad mendiang ayahnya yang meninggalkan dunia bertahun-tahun silam. Napasnya yang berat terhela begitu saja saat ia menyadari sesuatu. Kesadaran yang membuat jiwanya terasa hampa dan lelah luar biasa.
Berkali-kali ia memastikan siapa saja yang jasadnya tersimpan dan terkenang dalam serbuk abu di jajaran laci mewah istana, berkali-kali juga ia menyadari bahwa selama ini ia kehilangan sesuatu. Sebuah raga yang lepas dari jangkauannya untuk ia kenang dan ia dekap dalam hampa.
Donghae menutup mata, bersamaan dengan suara hatinya yang mengeja sebuah nama.
"Aku merindukanmu, Yoona-ya...."
-
-
-
"Keadaan politik semakin parah, bukankah begitu?"
"Maksud Ayah, kerajaan?"
Sungmin menghela napasnya lantas menatap sang anak dengan serius, "bagaimana menurutmu kalau usulan semacam ini diperbesar? Bagaimana kalau rakyat membuat demo besar-besaran agar sistem kerajaan di negeri ini dihapuskan?"
Obrolan ini sejujurnya bukanlah sesuatu yang Minhyung inginkan di saat-saat terakhir libur musim dinginnya dari tugas kerajaan. Ia yang baru kembali dari perbatasan utara dan menginjakkan kaki ke kediaman pribadi orang tuanya tak ingin terintrupsi oleh apapun yang membuat kepalanya berdenyut sakit. Secangkir teh chamomile dengan tambahan sedikit madu dan lemon yang tersaji di ruang minum teh seharusnya menjadi teman dari obrolan yang menyenangkan, entah itu tentang keadaan kesehatan orang tuanya, tentang anjing perempuan mereka yang baru melahirkan, atau tentang tanaman apa yang baru saja ibunya tanam di lahan kosong yang sebelumnya terbengkalai. Pokoknya, apapun itu yang tak membuat kepalanya menegang dan terasa berat.
"Wacana seperti ini sudah ada sejak lama, kan? Istana tidak lahir sepuluh tahun yang lalu. Kita sudah cukup tua untuk diterpa kabar murahan macam ini."
Yang dimaksud Minhyung 'sebagai' kita barangkali adalah dirinya secara spesifik, secara khusus sebagai seseorang yang kini merasa bahwa semuanya sudah terlalu memberatkan hidupnya. Usianya belum mencapai kepala tiga tapi beban dalam benaknya sudah seperti ia menanggung masalah dari usia kronologis yang tua. Minhyung merasakan itu semua, tapi diam-diam menelannya.
Semuanya mungkin tidak akan sememberatkan ini seandainya ia tidak meninggalkan jejak di sana, jejak berupa harta berharga yang ia miliki satu-satunya. Anaknya, Lee Jisung.
"Kau benar Minhyung. Aku senang karena kau bisa menanggapi hal semacam ini dengan kepala dingin."
"Orang-orang benar, kau pantas menjadi penerus tahta selanjutnya."
Pengalihan pikiran yang Minhyung bebankan pada rasa tehnya terhenti begitu saja. Secara tiba-tiba, kenikmatan pada lidahnya atas pengecapan rasa teh yang khas sudah tak terasa saat indra esensialnya yang lain menangkap kalimat sang ayah. Sebuah beban berat rasanya kembali menghantam benak dan itu sukses membuatnya menghela napas lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanficAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!