Ratu Sooyeon akan kembali ke ruangannya saat ia melintas di depan ruangan sang raja dan seolah merasa terpaku untuk berdiri di sana selama beberapa saat, di tengah lorong dengan jarak kurang dari dua puluh meter dari pintu tinggi di hadapannya. Otaknya secara otomatis mulai mempertimbangkan untuk dirinya masuk ke dalam sana, sembari memastikan bahwa tamu sang raja--Pangeran Sungmin--sudah pergi dari ruangan khusus suaminya.
Tanpa mengulur waktu lebih lama, Ratu Sooyeon mulai melangkahkan kakinya dan membuka pintu itu dengan ragu. Ruangan luas yang dihiasi banyak lukisan yunani kuno itu terasa hening tanpa suara, seolah tak ada kehidupan di sana.
Ratu Sooyeon kembali terpaku untuk menertawai pemikiran terakhirnya soal tak ada kehidupan di kamar mewah ini. Hatinya tertawa miris saat menyetujui bahwa sejak lama, suaminya memang sudah mati.
Kematian yang ia kehendaki sendiri.
"Kau mau melapor soal kelakuan Jeno lagi?"
Suara pertama yang didengarnya adalah suara yang berhasil membuat dahinya mengerut tak suka. Si pemilik kamar yang sejak tadi tak tampak batang hidungnya ini muncul dengan wajah lesu dan penampilan kacaunya. Ratu Sooyeon mengira bahwa suaminya itu pasti baru saja meminum beberapa cangkir sake sebelum ia kembali ke sini.
"Berhenti bertanya seperti itu."
"Lalu bagaimana?"
Raja Donghae terkekeh sinis sembari mendudukkan diri di kursi kebesarannya. Ia memandang sang istri pasrah saat mata indah itu masih setia menghujaninya dengan tajam, tatapan yang sama yang diberikan seseorang yang baru saja meninggalkan kamarnya.
"Cobalah lebih bersikap ramah padanya."
"Apakah itu permintaan khususmu, Permaisuri?"
Ratu Sooyeon tersenyum meremehkan sembari meremat map dalam genggamannya, "Itu permintaan anakmu, Yang Mulia.
Atau mungkin rakyatmu? Ia bahkan memandangmu sebagai rajanya, bukan ayahnya."
"Katakan saja apa yang dilakukannya kali ini!"
Donghae memandang Sooyeon dengan resah. Pikirannya sedang kacau, juga ia tidak berada dalam suasana hati yang baik sekarang. Penobatan sore nanti akan jadi satu-satunya agenda yang menguras tenaganya, dan ia tak menyiapkan tenaga cadangan untuk permasalahan memuakkan lainnya.
Apalagi, jika itu menyangkut putra semata wayangnya.
"Aku rasa hanya akan membuang-buang waktu untuk berbicara dengan orang sepertimu."
Sooyeon memandang suaminya dengan tajam, sebelum menghentakkan kakinya dan hendak meninggalkan ruangan. Saat berbalik untuk meraih pintu yang berdiri kokoh itu, netranya teralih pada sebuah lukisan rusa salju yang termangu indah di sudut ruangan.
Ia tersenyum getir, "Sekarang aku tahu mengapa ia harus meninggalkanmu, Donghae-ya...."
-
Penobatan pangeran kecil itu tak Renjun sangka akan diadakan secara tertutup meski tetap mengundang pers dan seluruh anggota inti istana. Bayi yang belum genap berusia dua minggu itu dipakaikan gaun putih yang cantik, diserahkan kepada Renjun yang menerimanya dengan tangan dan tubuh yang bergetar hebat. Di altar sana, Pak Pendeta dan pengurus senior kerajaan telah siap menyakralkan prosesi penobatan. Menunggu dengan wajah teduh dirinya juga Jeno yang kini berjalan berdampingan dengan wajah tegang.
Suaminya lagi-lagi terjebak pada raut yang tak dapat Renjun tebak. Sosok di sampingnya ini tak ubahnya bak raga tanpa jiwa, hanya mengikuti protokol seadanya hingga acara berada di penghujung akhirnya. Lagi untuk kesekian kalinya, Renjun kembali menerka-nerka. Kiranya, apakah yang tersimpan di dalam sana di balik wajah muram dan tak bersahabatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!