Lembaran Ketiga Puluh

798 120 31
                                    

Kesibukan terasa semakin nyata setiap harinya. Renjun tak dapat menghitung sudah berapa banyak pembicaraan yang ia hadiri hari ini, yang meski hanya dilakukan di ruang rapat istana, aula utama, dan ruang pribadi mertuanya, namun cukup menguras tenaga. Pria itu hampir memuntahkan makan siangnya saat suara kepala staff istana terus terdengar menjelaskan substansi yang membuat pening kepala.

"Lain kali Anda harus lebih tanggap dan fokus lagi, Yang Mulia. Raja sangat tidak suka jika kita lengah ketika rapat. Beliau pasti akan memastikan bahwa kita semua memahami apa isi rapat tadi."

Renjun berekspresi kikuk untuk ujaran tegas pelayan pribadinya itu. Wanita dengan perawakan tegap itu memang sudah sering sekali menegurnya sejak Renjun datang ke istana dan menjadi orang yang harus dilayani olehnya. Park Sunyong adalah seorang pelayan pribadi yang efisien dan tidak dapat berbasa-basi. Wanita di pertengahan kepala tiga itu pada awalnya sempat membuat Renjun merasa terintimidasi.

"Aku minta maaf. Aku merasa tidak enak badan tadi."

Yang tampak sibuk dengan dokumen notulensinya itu sontak langsung menghentikan kegiatan dan menatap datar sang tuan. Meski demikian, tergambar rasa khawatir yang samar di matanya yang memancarkan ketegasan.

"Anda harusnya bilang sedari tadi. Saya akan memanggilkan dokter dan menanyai koki istana terkait—"

"Tidak apa-apa."

Renjun buru-buru menghentikan kata-kata dengan kekhawatiran tersirat itu. Pria itu tersenyum kikuk lantas menatap pintu aula yang sudah sepi, "bisakah aku pergi ke taman belakang?"

"Anda harus beristirahat."

"Pangeran Jeno." Renjun menggantung kata-katanya lantas mengulum senyum, "menungguku di sana. Kita punya janji berdua untuk bertemu tepat pukul empat."

Meski wajahnya datar dan nyaris tanpa ekspresi, namun Renjun tahu bahwa pelayan pribadinya itu tengah berpikir keras sekarang. Sementara menunggu jawaban wanita itu, Renjun tanpa sadar meremat tangannya sendiri. Tiba-tiba saja ia merasa gugup dan letih. Akhir-akhir ini ia jarang sekali bertemu dengan sang suami dan setiap kata yang keluar sebagai permintaan izin rasanya seperti daging segar yang dapat dikuliti.

Renjun menunduk dan menatap perutnya. Jeno bilang bahwa ia ingin memastikan apakah perut itu sudah membesar, dan sudah bisa membuat Renjun tidak terlalu sibuk sekarang. Pertanyaan bodoh yang lucu. Renjun tanpa sadar tersenyum kecil dan membayangkan wajah polos sang suami yang selalu ia balut dengan ekspresi penuh intimidasi.

"Anda harus segera kembali sebelum jam makan malam."

Suara tegas yang penuh ultimatum itu membuat Renjun tersenyum senang. Pria itu lantas buru-buru mengganti pakaian rapatnya dengan setelan yang lebih santai selepas Sonyoung keluar dari ruangan pribadinya. Lorong-lorong istana ia susuri dengan hati yang gembira. Dalam benak sudah tergambar sang pria yang menunggunya di antara semak belukar. Prianya yang menawan.

Langkah Renjun terhenti di tengah area taman yang tanahnya sedikit basah. Ia tersenyum penuh sukacita mendapati sosok tegap sang suami yang membelakanginya, berdiri tepat di bawah matahari dengan sisa cahayanya yang dingin dan pucat, begitu gagah dan seolah tak nyata. Ia baru saja akan kembali melangkahkan kakinya waktu sosok itu berbalik dan menyuguhinya senyum samar yang mendebarkan.

Ah, rasanya mudah sekali jantungnya itu berdebar untuk  setiap detail sederhana dari prianya.

"Sibuk sekali sampai melupakanku?"

Renjun terkekeh. Ia lantas menggapai pahatan rupawan itu untuk menyingkirkan anak rambut Jeno yang sedikit berantakan, "Besok aku libur dari kegiatan agenda istana."

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang