Lembaran Kedua Puluh Satu

4.8K 616 211
                                    

Jeno benci musim semi, Jeno benci musim panas, Jeno benci musim-musim di mana sinar matahari menguasai langit dan semua orang bergembira untuk hari yang cerah tanpa muram dan dingin.

Jeno benci matahari, dan ini musim semi. Tapi karena ada Renjun di sisi, ia mungkin dapat bernegoisasi dengan perasaannya sendiri.

Ia mungkin dapat beradaptasi dan memaknai musim semi sebagai musim paling mencuri hati.

-

"Bagaimana perasaanmu dengan kediaman baru kita?"

"Kamu suka, kan?"

Yang tengah mematung di balik pintu kamar berukuran tak lebih dari tujuh kali tujuh itu tersentak saat sebuah suara menyapa telinga. Renjun dengan apron berkebunnya tengah memeluk sebuah kardus besar yang tampak berat, tersenyum manis saat wajah diam milik suaminya itu tertangkap netra. Jeno tampak seperti anak-anak yang sedang disibukkan oleh berbagai perasaan di balik keterdiamannya; bingung dan kagum. Lelaki itu agaknya ingin mengomentari sesuatu saat istrinya tengah sibuk dengan barang-barang dasar yang inisiatif ia pindahkan secara mandiri ke kediaman baru mereka, pondok deoksu.

Yang Mulia Raja memberikan persetujuan untuk keduanya meninjau terlebih dahulu hunian yang akan mereka gunakan sebelum keberangkatan tugas keduanya besok lusa. Pagi tadi Renjun sudah berkoordinasi dengan pelayan senior yang biasa mengurusi urusan rumah tangga istana, meminta agar ia diizinkan untuk memindahkan barang yang mereka butuhkan. Jeno yang tadinya akan menghabiskan hari sabtunya dengan tidur seharian itu Renjun tarik untuk ikut bersamanya melihat calon hunian mereka. Pangeran mahkota itu pada awalnya menolak dengan kesal, merasa bahwa wajah berseri Renjun yang mengajaknya untuk beres-beres rumah adalah sesuatu yang mengganggu jam tidurnya. Meski begitu, ia akhirnya luluh juga saat sang istri menawarinya sebuah kompensasi dari kegiatan mereka; piknik di kebun belakang pondok sembari menikmati sandwich tuna kesukaan.

Jeno merasa bodoh saat menyadari bahwa harga dirinya tidak lebih dari sebuah sandwich tuna buatan Renjun yang rasanya bahkan tidak dapat ia jamin akan seenak buatan chef istana.

"Kamarnya hanya ada satu? Sekecil ini?"

"Kamu mau punya kamar sendiri hm? Ada ruang kosong yang bisa kujadikan kamar kalau kamu mau."

Jeno merasa panik mendengar itu meski tak menunjukkannya dengan gerak-gerik apapun, "kamu menambah pekerjaan pelayan kalau begitu!"

"Hm? Siapa yang tadi bilang bahwa kamarnya terlalu sempit dan sepertinya ingin punya ka--"

"Aku tidak bilang begitu!"

Renjun mengerling jahil, menatap suaminya yang tampak salah tingkah. Ia lantas mendudukkan bokong di sampingnya sembari menepuk-nepuk celana bahannya yang kotor oleh debu rumah.

"Ada rencana renovasi untuk pondok ini. Anggarannya akan segera dicairkan oleh staff keuangan sebentar lagi."

Pondok Deoksu memang bukan hunian dengan konsep istana; setidaknya, itulah kesan untuk sebuah bangunan yang akan ditinggali oleh anggota inti kerajaan, terlebih adalah pangeran pewaris tahta. Meninjau bahwa raja hanya memiliki satu putra membuat kerajaan hanya memiliki satu istana utama dan beberapa pondok yang dapat ditinggali anggota lainnya, utamanya adalah para staff. Deoksu menjadi satu-satunya pondok yang masih kosong dan diperuntukan sebagai tempat tinggal cadangan, meski secara fundamental itu tidak seharusnya menjadi tempat tinggal pangeran pewaris yang pasti akan menempati istana utama nantinya.

"Kita bisa menambah beberapa kamar kalau kamu mau."

"Aku tidak bilang bahwa aku ingin memiliki kamar sendiri."

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang