Lembaran Kelima

4.7K 734 56
                                    

Istana yang katanya penuh dengan teka-teki dan misteri, ternyata memang benar adanya.

Setidaknya pagi ini Renjun benar-benar menyaksikan bagaimana keributan istana dalam menyikapi berita yang tersebar di seluruh penjuru tanah kebangsaan. Sebenarnya ada banyak rumor yang menghiasi dinamika monarki selama berpuluh-puluh tahun ini. Semua yang dilakukan istana tak pernah tidak menarik untuk dijadikan headline berita di berbagai media masa. Entah yang penting dan krusial sehingga perlu dikritisi oleh rakyat, sampai hal-hal murahan macam asumsi-asumsi tak berdasar yang akhirnya menjadi perdebatan tersendiri.

Renjun tak tahu jenis berita macam apa yang kini menggemparkan istana, tapi satu hal yang pasti adalah bahwa aktor dari berita ini ialah suaminya sendiri, Putra Mahkota Lee Jeno.

Jadi saat kini mereka semua tengah menyantap hidangan sarapan dengan dingin, Renjun tak bisa untuk tidak mengamati suaminya, meski secara diam-diam.

"Apakah kita perlu mengambil tindakan hukum untuk masalah kali ini, Yang Mulia?"

Kepala penasehat istana membuka suara. Pria yang rambutnya sudah nyaris berwarna putih semua itu memandang resah sang raja yang terlihat tenang menikmati sarapan. Semua orang yang ada di sana harap-harap cemas setelahnya, menunggu jawaban si penguasa monarki yang rautnya begitu sulit terbaca. Termasuk Renjun sendiri yang kini sudah sibuk mengatur napas saking tegangnya.

Ia tak pernah membayangkan bagaimana istana menjatuhkan hukuman kepada orang-orang di luar sana.

"Kita lihat dulu bagaimana efek yang ditimbulkan dari berita ini, Kepala Park."

Donghae berujar tenang. Kegiatan makannya ia selesaikan secara tiba-tiba bahkan sebelum makannya habis yang membuat semua orang di sana melakukan hal yang sama, kecuali satu orang yang tak terusik untuk tetap menikmati menu sarapannya, Jeno.

Salah satu aturan di meja makan adalah bahwa semua orang tidak boleh makan sebelum raja memulai, dan semua orang juga sebisa mungkin menyelesaikan hidangannya sebelum raja selesai. Tapi nampaknya, aturan itu tak begitu diindahkan oleh si putra mahkota.

Jeno masih makan dengan tenang, dan barangkali, itulah yang mengubah raut wajah sang ayah secara signifikan sekarang.

"Aku kira sepertinya kau harus mulai terlibat dalam pembicaraan ini daripada terus menikmati sarapanmu, Pangeran."

Suara sang raja bergema dengan nyaring, seketika membuat suasana menjadi dingin. Jeno yang baru saja akan memasukkan potongan sandwich terakhirnya itu meletakan kembali sumpitnya dan memandang sang ayah dengan datar.

"Aku tak merasa memiliki urgensi apapun untuk terlibat dalam pembicaraan ini, Yang Mulia."

"Apa? Apa katamu? Coba katakan sekali lagi agar aku bisa tertawa keras!"

Renjun diam-diam menunduk takut saat suara ayah mertuanya menggema di ruang makan yang besar, disusul tawa kencangnya yang terdengar mengerikan. Tanpa perlu memastikan, ia dapat mengira bahwa semua orang mulai melakukan hal yang sama sepertinya, menunduk takut dan mulai membuat pengharapan bahwa tawa paksa tadi tak akan berakhir menjadi sesuatu yang lebih mencekam. Tapi nampaknya, harapan itu musnah bahkan sebelum dipanjatkan saat suara gebrakan meja terdengar mengiringi pelototan marah sang raja.

"KATAKAN SEKALI LAGI KATA-KATA ITU, BRENGSEK!"

Renjun menunduk takut. Tangannya bergetar dan secara tiba-tiba pandangannya memburam karena air mata. Hatinya merasa terguncang saat kata-kata itu menancap tepat di dada.

Itu adalah kata-kata paling kasar yang pernah ia dengar terucap dari mulut seorang ayah. Seorang ayah yang kini menatap anaknya bukan sebagai seorang anak.

The Little Jeno [Noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang