Ayo dong sayang-sayangku pada komen ehehehehe:D
Happy Readinggg<3
.
.
.
"Bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Reputasimu."
Hangeng Huang menatap putra semata wayangnya dengan seringaian tipis. Pria di usia akhir lima puluhan itu lantas menggenggam tangan putranya dan merematnya, "Ayah senang kau jadi sering masuk pemberitaan sekarang."
Renjun terdiam barang beberapa saat. Pria itu lantas menghela napas lelah dan menatap pagutan tangannya dengan sang ayah, "aku lelah. Istana belum mengurangi jadwal kegiatanku meski aku sedang hamil."
"Ah, jangan terlalu dipikirkan. Justru bagus kalau kau bisa membangun reputasi yang bagus di kalangan publik."
"Oh ya, dengan kehamilanmu sekarang, bagaimana istana akan mencopot Pangeran Jisung nanti?"
"Aku tidak pernah berpikir sejauh itu dan aku tidak mau memikirkan itu."
Renjun berujar dengan sedikit sengit. Pria itu menarik tangannya dari genggaman sang ayah lalu mulai mengatur napas, berusaha menekan emosi yang kembali terasa memuncak. Ia tahu ayahnya sudah jarang menemuinya ke istana akhir-akhir ini, dan sekarang adalah waktu yang baik untuk bertemu dan saling memastikan kondisi masing-masing. Namun agaknya Renjun berekspetasi lebih. Ia ingin mereka membicarakan sesuatu yang hangat, seperti kehamilannya, misalnya, alih-alih justru mengaitkan hal tersebut pada persoalan tahta dan istana.
"Bisa kita bicarakan hal lain? Aku akhir-akhir ini sedang senang sekali makan selada dan—"
"Kau harus mulai realistis, Renjun. Lupakan semua soal cinta apapun di istana. Tempat ini—" Ujarnya, dengan suara yang sedikit berbisik di kata terakhir kalimatnya tadi, "bukan tempat untuk jatuh cinta, tapi tempat untuk bertahan."
Renjun tercengang oleh kata-kata itu. Sesuatu yang tak kasat mata seolah menghantam dada dan membuatnya seolah tertampar oleh realita—realita yang lainnya, yang tak pernah terbayang dan tak pernah ingin ia visualisasikan sebagai sebuah kenyataan. Karena sesungguhnya Renjun lebih suka mempercayai kenyataan saat ini, yang lebih sederhana dan selalu membuatnya seolah berada di padang bunga. Kenyataan sederhana bahwa ia bertemu pangeran tampan yang selalu membuatnya berdebar, kenyataan sederhana bahwa kini ia membawa sebuah nyawa di perutnya—manifestasi dari cinta mereka.
"Kau pikir suamimu itu mencintaimu? Kau pikir dia punya hati? Ayah sanksi dia bahkan punya otak untuk mempertahankan posisinya sebagai calon raja nanti."
Betapa jahatnya, pikir Renjun—betapa jahatnya sang ayah mengatakan kata-kata menyakitkan itu.
"Dengar, Renjun."
Renjun masih termangu, seolah tak mau menaruh atensi pada sang ayah yang kini memajukkan tubuhnya dengan raut wajah serius, "Ayah banyak mendengar berita-berita internal istana. Ada beberapa orang yang akan mungkin sekali membuat kubu, dan merencanakan kudeta untuk calon raja nanti. Ayah tidak peduli siapa yang akan jadi rajanya, tapi yang jelas posisimu harus aman."
"Kalau suamiku tidak jadi raja maka aku juga akan tidak jadi apapun."
"Jangan gegabah!"
Hangeng berusaha menahan teriakannya. Pria itu dengan waspada menatap ke sekitarnya sebelum kembali menatap sang putra dengan sorot mata tajam, "dengar, kau harus pintar melihat peluang. Dekati siapapun yang sekiranya akan menang. Saat sesuatu yang tak diharapkan mungkin terjadi, setidaknya kau akan tetap mendapatkan gelar kehormatan bangsawan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!