Istana itu dingin, besar, dan kadang kala agak sedikit mencekam.
Renjun terus menghitung hari sejak ia menjejakkan kaki ke kediaman utama si penguasa ini. Ia dan Jeno masih tinggal di istana utama raja, sebelum nanti akhirnya pindah ke kediaman mereka. Renjun tak tahu kapan pastinya, dan tidak pernah berani untuk bertanya.
Menjadi keluarga kerajaan mengajarkannya banyak hal, satu di antaranya adalah bahwa tak semua pertanyaan dapat disuarakan dengan gamblang.
Hari ke sembilan, tanpa perubahan signifikan. Ia masih kesepian, orang tuanya sudah kembali ke Jilin sejak hari keempat ia resmi menyandang sebagai anggota kerajaan. Dan istana tak cukup ramai meski ada banyak pelayan yang berlalu-lalang, yang jumlahnya bahkan melebihi anggota inti kerajaan. Mungkin karena mereka tak benar-benar bertindak sebagai eksistensi bebas dan bergerak layaknya robot yang terkontrol sehingga Renjun merasa bahwa mereka semua hanyalah raga tanpa jiwa yang menggantungkan hidupnya dalam lingkup kekuasaan istana.
Sangat menyedihkan, namun memang begitulah adanya.
Renjun menyusuri bagian belakang istana yang selalu tampak sepi, meski sesekali ramai oleh para pelayan yang melakukan pekerjaan mereka di sana. Hari akan segera beranjak meninggalkan pagi saat ia ingat bahwa sore nanti adalah jadwalnya untuk pergi ke rumah sakit bersama arak-arakan kerajaan, menyambut sekaligus menjemput calon putranya yang telah lahir.
Sudut bibir Renjun tertarik saat ia merasa bahwa kesepiannya kini tersimpul pada harapan baru yang tak ia pikirkan sebelum ini.
Seorang bayi, ia akan menjadi seorang ibu dalam kurun waktu beberapa jam lagi.
Sebuah nama muncul dalam benaknya dan menyentil sensitifitas hatinya. Renjun kenal dan familiar dengan perasaan ini. Perasaan yang menghadirkan efek kupu-kupu pada perutnya, perasaan yang membuat jantungnya berdebar lebih dari normalnya.
Sebuah euforia saat ia membayangkan bahwa mungkin ia akan mendapatkan hak untuk menamai bayinya.
"Bongshik,"
Matanya terbuka saat sebuah suara menyapa tulang sanggurdinya. Terdengar begitu samar, namun mudah ditemukan saat kini langkahnya membawa ia pada seorang pria yang tengah asyik mengatur kucingnya.
Renjun agak sulit percaya bahwa itu adalah Jeno, suaminya yang sudah menghilang sejak setelah sarapan.
"Bongshik, aku memerintahkanmu untuk tetap di situ!"
Suara si pangeran tunggal itu menggema jauh lebih keras. Wajahnya terlihat begitu ekspresif, jauh lebih dari biasanya yang hanya berupa air muka datar. Renjun yang terkesima memilih untuk diam-diam menontoni Jeno yang kini sudah kembali fokus pada kameranya, meski sesekali mulutnya masih mengomeli si kucing berbulu putih yang bergerak gelisah dalam aturan pose tuannya.
Jeno kembali marah, memarahi si kucing yang berontak dan kabur begitu saja sebelum blitz kamera membidiknya. Dan Renjun menyukai bagaimana suaminya itu berwajah kesal hingga mengeluarkan decakan sebal.
"Yak Bong--"
"Bongshik lebih nyaman bersamaku...."
Ia tersenyum manis saat mata Jeno membelalak tak suka pada kucingnya yang kini nyaman berada di pelukan Renjun, "Butuh bantuan, Jeno-ssi?"
Si pangeran yang kini hanya mengenakan setelan kemeja basic hitamnya itu mengangguk ragu. Wajahnya masih memberengut kesal, dan ambisinya pada si kucing yang kini sudah mengeong pasrah itu masih menggebu-gebu.
Satu jepretan berhasil Jeno dapatkan berkat bantuan Renjun yang menahan Bongshik dengan sebuah berry yang ia petik langsung dari pohonnya.
"Jeno-ssi...."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Jeno [Noren]
FanfictionAndai saja saat itu Renjun mengerti bahwa memang rasa cintanya kepada Jeno sangat sulit untuk dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Monarchy AU, Angst, Mental Disorder Content!